Sabtu, 18 Desember 2010

Kamis, 16 Desember 2010

Setahun Kelly Kwalik Ditembak Jadi Korban HAM

Alm. Kelly Kwalik setelah diotembak  (Ist)
JUBI ---  Proses penembakan (Alm) Tuan Kelly Kwalik dikategorikan pelanggaran  HAM Terberat, karena penembakan oleh aparat Kepolisian dilakukan pada saat almahrum  sedang sakit dan tertidur di rumahnya di Timika,  bahkan tidak melawan saat ditembak.


”Ini pelanggaran HAM terberat”  kata Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Timika, Saul Wanimbo, di Timika, kamis (16/12), sekaligus memperingati memperingati 1 tahun kematian Kelly Kwalik.

Wanimbo berharap, supaya menjadi titik awal berbagai pihak, untuk menghargai dan menghormati serta semakin menanamkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), bukan secara teoritis tetapi dalam kehidupan praktis sederhana.

“Banyak kasus penembakan dan pembunuhan serta kejahatan HAM di Papua hampir terbungkam sebagian besar, dimana para pelaku kejahatan HAM hamper tak pernah diproses di peradilan HAM, Padahal terbukti nyata-nyata telah melakukan  aksi dan penembakan terhadap warga sipil,”  nilainya.

Disesalkan, jika hampir semua pembunuhan dan penembakatan warga sipil di Papua oleh aparat TNI maupun Polri ataupun oleh pihak tak dikenal, belum mampu diungkap oleh pihak berwajib. ”Pelaku yang diketahui hanya masih diberi hukum intern, bukan sanksi hokum pengadilan sebagai pelanggar HAM berat,” paparnya.

Bahkan hingga kini, kata dia, penembakan dan pembunuhan terhadap orang papua masih terus dilakukan. “ Tuduhan Kelly Kwalik sebagai pelaku teror atau penembakan di daerah areal PT Freeport Indonesia tahun-tahun, hingga kini belum bias dibuktikan oleh aparat TNI/Polri,” katanya.

Kesalahan Kelly Kwalik harus dibuktikan sampai kapan dan dimanapun. “ Jika aparat TNI/POLRI bermaksud baik, saat ditembak oleh Polisi kenapa Tuan Kelly Kwalik dibawah ke Klinik Kuala Kencana? Bukan dibawah atau dirujuk ke Rumah Sakit terdekat,” kesalnya.

Ditambahkan, Polisi atau pihak aparat yang menanggani hasil otopsi kematian tokoh pejuang keadilan dan kebenaran di Papua tidak pernah dilaporkan kepada masyarakat dan rakyat Papua.

“Pelaku penembak Kelly Kwalik supaya segera diadili di meja peradilan HAM Internaional serta Pemerintah Indonesia supaya segera membentuk Panitia khusus (Pansus) Peradilan pelaku dan membuktikan kesalahan Kelly Kwalik serta melaporkan hasil otopsi para pejuang tokoh keadilan dan kebenaran selama ini di Papua,” pintanya.  (Willem Bobi)

Pemerintah Diajak Merawat Kuburan Kelly Kwalik

Jenazah Tuan Kelly Kwalik sebelum di kubur 
JUBI ---  Dalam rangka memperingati hari berkabung setahun Penembakan Alm.Tuan Kelly Kwalik, kamis (16/12),  maka pemrintah serta masyarakat diajak untuk dapat merawat dan memberikan perhatian terhadap keberadaaan kuburannya.


Hal tersebut disampaikan, Direktur Sekretariat Perdamaian dan Keadilan (SKP) Timika, Saul Wanimbo, sekaligus mengatakan perhatian terhadap kuburan Almarhum Kelly Kwalik perlu dilakukan oeh berbagai pihak dan elemen masyarakat di Kota Timika maupun seluruh lapisan masyarakat pencinta keadilan dan perdamaian dunia.

“Kelly Kwalik sebagai pejuang kemanusiaan perlu dihargai dan dihormati, salah satunya adalah pembersihan dan perawatan kuburan jasadnya,”  ucap Wanimbo, kepada JUBI di Timika, Kamis (16/12).

Selain itu, SKP Timika juga mengeluarkan sejumlah pernyataan terkait kasus pembunuhan Kelly Kwalik setahun silam. Sebagai informasi tambahan Tuan Kelly ditembak oleh aparat Kepolisin pada tanggal 16 Desember  2009, saat sakit dan tertidur pulas di salah satu rumah warga sipil di Timika.

Saat ditembak, dalam versi Polri mengatakan Kelly Kwalik menlakukan aksi perlawan, sementara versi Keluarga tuan Kelly sebagai saksi mata mengatakan Tuan Kelly ditembak tanpa perlawan satupun.

Dirinya mengajak, kepada semua elemen, institusi dan pencinta Hak Asasi Manusia (HAM) pembela kebenaran, keadilan dan Perdamaian agar menghargai dan menghormati perjuangan mempertahankan nilai kemanusiaan.

“Salah satunya adalah perjuangan Tuan Kelly Kwalik Komandan Pembela kebenaran dan kaadilan bagi rakyat Papua di wilayah Pegunungan Tengah Papua,” katanya.


Sementara itu, pantauan JUBI di kuburan almarhum Kelly Kwalik, terlihat belasan mama-mama melakukan pembersihan, yang berlokasi di Timika Indah, Kamis.

“kami mau supaya kuburan ini tetap bersih dan terawat,” ujar salah satu mama saat membeishkan kuburan.

Mereka mengakui tuan Kelly selam hidup tidak pernah membunuh rakyat, kecuali memerintahkan anak buahnya menaikkan bendera bintang kejora. “Bapak Kelly Kwalik tidak pernah membunuh orang sembarang, karena yang kami ketahui dia biasa berdoa dan bawah bendera, sebab kalau hari minggu selalu ke gereja,” akui mama-mama tersebut.

Selain memberishkan kuburan almarhum, juga melakukan doa bersama bagi jasad Kelly yang dikenal sebagai tokoh pejuang keadilan yang semakin modern di Papua ini.

Dalam rangka peringatan 1 tahun kematian, hampir tidak ada gangguan keamana atau ketertibaan umum di kota Timika. Rata-rata warga kota Timika nampak melakukan aktivitas seperti biasa, hanya  nampak kelompok aparat polisi dari satuan Polres mimika maupun dari satuan Brimob nampak bersiaga sambil berjaga-jaga di lapangan umum Timika, tepat bersebalahan dengan kuburan (Alm)Tuan Kelly Kwalik. (Willem Bobi)

Filep Karma Protes Surat Pemanggilan Polisi

Tapol/Napol harus dibebaskan (ist)
JUBI --- Filep Karma, tahanan politik (Tapol) Papua, memprotes surat pemanggilan yang diberikan oleh kepolisian sektor (Polsek) Kota Abepura, Jayapura, Papua. Karma menilai surat pemanggilan itu menggiringnya sebagai tersangka.

“Saya rasa surat ini seakan-seakan memaksa saya sebagai tersangka. Saya bukan tersangka tapi mediasi yang berusaha mendamaikan masa saat itu,” katanya saat diwawancarai JUBI, Kamis (16/12) di Jayapura.
Kalimat surat yang diprotes Karma yaitu ‘diduga secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHP. Karma mengaku, setelah ia mencermati isu surat tersebut, sebagian kalimat dalam mestinya diganti.  “Jika redaksi itu tetap dipakai, maka polisi akan ditetapkan saya sebagai tersangka,” kesalnya.

Sementara itu, Anhika Pratama, penyidik dari polsek Abepura mengatakan, sebenarnya maksud isi surat itu bukan dituding sebagai tersangka. Namun, surat itu bermaksud dipanggil sebagai saksi untuk memberikan keterangan atas kejadian yang terjadi dalam LP Abepura. “Maksud kami bukan menuding Karma sebagai tersangka. Dia hanya dimintai keterangan sebagai saksi,” ungkapnya.

Surat bernomor, Spg/782/XII/2010/Reskrim berisi, untuk kepentingan pemeriksaan dalam rangka penyidikan tindak pidana, maka perlu dilakukan tindakan hukum berupa pemanggilan terhadap seoerang untuk didengar keterangannya.

Surat pemanggilan yang ditandatangi oleh Kanit Reskrim Polsek Abepura, Undingan Alimudin itu diberikan ke Karma sejak tanggal 15 Desember 2010. (Musa Abubar)

Buchtar Tabuni Cs Diperiksa Tim Penyidik

suasana penyidikan di Polda (ist)
JUBI --- Aparat penyidik Kepolisian Sektor Abepura Jayapura, Kamis siang (16/12) memeriksa Filep Karma, Buchtar Tabuni dan Dominggus Pulalo, terkait kericuhan di LP Abepura, Jumat 3 Desember lalu. Ketiganya diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi.
“Mereka dimintai keterangan sebagai saksi, bukan tersangka.  Kami harus menggali keterangan dari mereka atas kejadian yang mereka dilihat saat kejadian,” kata Fredy N.J Sumantauw, salah satu aparat penyidik polsek Abepura.

Fredy mengaku, selain Karma, Tabuni dan Pulalo, dua orang tahahan dan napi atas nama Alex Elopere dan Danny Lopez juga dimintai keterangan. “Keduanya juga diperiksa sebagai saksi,” ujarnya.

Dalam pemeriksaan sebagaimana disaksikan JUBI, Filep dan Tabuni mengaku dihadapan penyidik  tidak mendalangi kericuhan tersebut. Keduanya mengaku bahwa mereka berdua saat kericuhan terjadi berupaya menenangkan napi lain yang sedang naik pitam.

“Kami saat itu mau mediasi mereka untuk menemui kalapas untuk menanyakan rekan mereka, Miron Wetipo yang tertembak,” jelas Karma saat ditanya penyidik.

menurut keterangan Karma, kericuhan itu terjadi karena Kalapas tidak membuka ruang bagi tahanan dan napi yang saat itu hendak meminta kejelasan terkait rekan mereka yang ditembak.

“Waktu itu teman-teman kan mau ketemu Kalapas untuk minta kejelasan tapi tidak ada kejelasan yang diberikan. Akhirnya mereka marah lalu melakukan pengrusakan.”

Hal serupa juga disampaikan Buctar Tabuni saat dimintai keterangan dari penyidik. Menurut Tabuni, saat itu dia dan Karma sudah berhasil mengumpulkan rekan-rekanya untuk menunggu Kalapas, dan ditemani Wakil Ketua Komnas HAM Papua, Matius Murib.
Namun karena tidak bisa kendalikan emosi, beberapa diantara penghuni Lapas berteriak dan mengejek Kalapas, dan kondisi semakin tak terkendali sehingga terjadi tindakan anarkis.

”Pada saat mereka berteriak, pada saat itu juga Kalapas datang bersama rombongan Brimob dan melakukan penangkapan serta memukul beberapa tahanan dan napi. Kalapas juga langsung main tuding sembarangan,” kata Tabuni saat diperiksa.

Dalam pemeriksaan tersebut, Karma, Tabuni dan Dominggus didampingi tujuh pengecara. Mereka adalah Johanis H. Maturbongs, SH, Gustaf R. Kawer, SH, M.Si, Roberth Korwa, SH, Olga Hamadi, SH, Msc, Ivonia Tedjuari, SH, Simon Patiradjawane, SH, dan Elly Murafer, SH. Pemeriksaan berlansung mulai pukul 12.00 WIT hingga pukul 16. 00 WIT. (Musa Abubar)

Rabu, 15 Desember 2010

LP3BH : Penangkapan Banundi Langgar Aturan

JUBI --- Lembaga penelitian, pengkajian, dan pengembangan bantuan hukum (LP3BH) Manokwari, Provinsi Papua Barat, menilai penangkapan yang dilakukan oleh polisi terhadap Simon Risyard Banundi, staf LP3BH Manokwari dari sisi hukum melanggar aturan.

Direktur eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Cristian Warinusi menyatakan, dari sisi hukum tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian melanggar aturan hukum yang berlaku. “Bagi saya penangkapan dan penahanan itu melanggar aturan hukum, bahakn Polisi juga tidak menghubungi pengacara untuk mendampingi kasus ini,” ujar Warinusi saat menghubungi JUBI, Rabu (15/12) pagi di Abepura.

Menurut Warinusi, polisi sudah melepaskan Simon Risyard Banundi pada pukul 01.00 WIT. pembebasan itu atas desakan dari tim advokat yang sudah dibentuk tapi juga atas inisiatif polisi. Namun, polisi masih menahan beberapa barang milik Banundi. Antara lain kamera, tas, dan hendikemp. “Barang yang ditahan sudah dikembalikan. Tas yang berisi buku bacaan dan beberapa buku catatan lain di kembalikan dalam keadaan normal dikembalikan polisi. Demikian juga dengan kamera yang dibawa waktu itu juga sudah dikembalikan,” katanya.

Walau barang miliknya sudah dikembalikan, kata dia, tetapi dari sisi hukum penangkapan terhadap Banundi tetap dipersoalkan karena sudah melarang kebebasanya. “Walaupun barangnya sudah dikembalikan tapi penangkapan dia tetap dipersoalkan dan dituntut karena sudah melarang kebebasan dia.”

Banundi diborgol polisi saat hendak meliput kegiatan peringatan hari ulang tahun ke -22 kemerdekaan republik melanesia barat di lapangan penerangan, tepatnya disamping kantor bandan informasi dan komunikasi (Infokom) Sanggeng, Manokwari, Papua Barat  pada pukul 09.00 WIT.

Dia menilai, tak hanya Banundi, penangkapan dan penahanan terhadap tujuh aktivis politik Papua dari foront bintang 14 (empat belas) dibawah pimpinan Melkianus Bleskadit, pasca aksi perayaan HUT kemerdekaan republik melanesia barat ke 22 pada Selasa (14/12) kemarin oleh Polres Manokwari, sebagai bukti Negara ini berusaha membukam hak berdemokrasi dan melarang pemasungan kebebasan rakyat untuk menyampaikan pendapatnya.

Sementara itu,  Kapolres Manokwari, AKBP Agustinus Supriyanto menyatakan, terkait Banundi pihaknya sudah mengembalikannya karena tidak bersalah. Namun, tujuh aktivis Papua lainnya yang ditangkap  akan diproses sesuai hukum yang berlaku. “Yang jelas mereka akan kami proses sesuai hukum yang berlaku,” kata Supriyanto saat dikonfirmasi JUBI. (Musa Abubar)

Aparat Militer Dinilai "Bermain" Di Degeuwo

JUBI --- Keberadaan aparat militer di Degeuwo, Kabupaten Paniai, dinilai masih sangat leluasa dan mengintimidasi masyarakat setempat dengan senjata demi kepentingannya.

“Di Degeuwo, Kabupaten Paniai dari tahun 2003 hingga saat ini, pengamaan bisinis-bisnis illegal oleh aparat militer masih terjadi, dan masyarakat selalu di todong oleh senjata jika ingin menunut hak wilayat serta alamnya” kata Julian Gobay, Ketua Solidaritas Mahasiswa dan Masyarakat Mee/ Moni se kota Jayapura, saat bersama masyarakat dan mahasiswa asal suku MEE dan  Moni di halaman kantor DPR Papua, Rabu (15/12).

Julian menyatakan hampir semua bisnis illegal yang ada di Degeuwo dikuasi militer, yakni Lokalisasi (tempat seks komersial) atau tempat hiburan malam, kios-kios tempat dagangan minuman keras (Miras) atau beralkohol tinggi serta lokasi penambangan emas dan material.

Selain itu, para pegusaha juga menebang hutan dengan leluasa dan sembarangan demi kepentinganya, masyarakat adapt setempat tak bisa berbuat banyak karena selalu di hadang dan di ancam aparat militer.

“Sesuai dengan hasil penilitian kami beberapa hari lalu, setiap bulannya aparat militer yang bertugas di lokasi tersebut di upah sebesar 42,5 juta rupiah oleh para pengusaha” tuturnya

Menurutnya telah terdapat 27 kafe, 24 tempat biliar, 20 rumah tempat pekerja seks komersial yang terinveksi HIV/AIDS, 70 kios tempat dagangan miras di Degeuwo

Dalam aksi damai tersebut mereka juga datang dengan membawa beberapa spanduk dan foro-foto dari semua aksifitas di lokasi penambangan tersebut baik yang positif maupun negatif.  (Yarid AP)

Enembe Harus Bertangungjawab Soal Tingginambut

JUBI --- Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Timika, Saul Wanimbo mengatakan, Lukas Enembe, selaku Bupati Kabupaten Puncak Jaya, dan Barnabas Suebu selaku Gubernur Papua harus bertanggungjawab terhadap berbagai peristiwa penembakan di Tinggi Nambut Puncak Jaya yang kerap terjadi belakangan ini. 

"Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Puncak Jaya dipicu oleh kelonggaran Enembe dan Suebu dalam menghadiran tentara dan polisi di daerah itu serta akibat dari kelonggaran mereka dalam mengijinkan kehadiran banyak tentara dan polisi di daerah itu, karena itu Enembe dan Barnabas Suebu harus bertanggung jawab,” tegasnya kepada JUBI, (14/12) di Timika.

Setidaknya dalam catatan SKP Timika, sejak Lukas Enembe menjadi Bupati Puncak Jaya selama dua periode, daerah Tinggi Nambut tak luput dari berbagai aksi kekerasan terhadap warga yang mengarah pada pelanggaran HAM. “Lukas Enembe, sejak menjadi Bupati Puncak Jaya, di Tinggi Nambut tak pernah luput dari kasus pelanggaran HAM yang  dilakukan oleh aparat militer dan Polisi,” katanya.

Saul Wanimbo juga sesal terkait penegakan hukum kasus pelanggaran HAM di Tinggi Nambut. Ia menilai, penyelasaian persoalan sangat jauh dari rasa keadilan bagi korban mau pun keluarga korban. Mestinya, kata Wanimbo, aparat yang menembak masyarakat sipil harus ditindak secara tegas. Bila perlu pelaku kejahatan kemanusian tersebut diseret ke pengadilan HAM nasional maupun Internasional.

Karena itu SKP Timika meminta agar segera membentuk tim khusus  untuk mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran serta kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Tingginambut, Puncak Jaya. ”Mereka jangan hanya bicara di publik. Para pendukung HAM dari Papua maupun di Jakarta harus membentuk pansus tentang pelanggaran-pelanggaran HAM ini,” tuturnya. (Willem Bobi)

Selasa, 14 Desember 2010

Kalapas Abepura Bersama 14 Sipir Aniaya Narapidana

JUBI --- Kepala Lembaga Pemasyaraatan Klas II A Abepura, Liberti Sitinjak, bersama 14 orang bawahannya menganiaya seorang narapidana atas nama Dominggus Pulalo, dimana mengakibatkan korban mengalami luka robek ditelinga kiri, seluruh tubuhnya bengkak akibat ditendang.


Menurut pengakuan Pulalo, dirinya dianiaya usai kericuhan yang terjadi dalam LP, Jumat (3/12) sore. Saat itu, kata dia, dirinya dikunci dalam ruang tahanan oleh kalapas bersama 14 orang bawahannya. Setelah penguncian dilakukan, kalapas dan 16 sipir itu bergantian melakukan pemukulan dan tendangan.

“Waktu itu saya dikunci dalam ruang tahanan jadi tidak bisa buat apa-apa. Saya dipukul dan ditendang secara bertubi-tubi dari mereka,” katanya melalui laporan tertulis yang diterima JUBI, di Jayapura, Selasa (14/12).

Dalam laporan itu, akibat penganiaayan tersebut, Dominggus mengalami luka robek ditelinga kiri, kepalanya bengkak, rusuknya hingga kini sakit karena tendangan dan injakan bertubi-tubi saat dianiaya. Hingga kini korban masih merasa pusing dan sakit disekujur tubuhnya. “Saya masih rasa sakit akibat tindakan tersebut,” ungkapnya.

Dominggus Pulalo juga salah satu diantara empat orang tahanan dan narapidana yang dipindahkan dari LP Abepura ke rutan Polda Papua pasca kericuhan di LP Abepura, Jumat sore. Hingga kini Dominggus bersama empat orang rekannya masih ditahan di Polda Papua. Pulalo ditahan akibat kasus penganiayaan.

Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Abepura, Liberti Sitinjak membantah penganiayaan tersebut. “Tindakan itu tidak benar. Kami tidak lakukan hal itu,” ujar Liberti saat dikonfirmasi JUBI. Liberti tidak banyak berkomentar soal penganiayaan itu ketika JUBI berusaha meminta penjelasan.

Berdasarkan pengakuan korban, forum demokrasi rakyat Papua bersatu dan komite nasional Papua barat meminta Menteri Hukum dan HAM dan Dirjen Lapas di Jakarta segera menindak tegas perbuatan kalapas Abepura dan bawahanya atas kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan terhadap para narapidana di LP Abepura, diantaranya Dominggus Pulalo.

Fordem dan KNPB  menilai, sikap semacam itu tidak menunjukkan pembinaan yang benar dan baik terhadap napi dan tahanan. Sebaliknya, menimbulkan ketidaknyamanan dan rasa tidak aman terhadap warga binaan. (Musa Abubar)

DAP Sesali Penangkapan Banundi Di Manokwari

JUBI ---  Dewan Adat Papua (DAP) menyesali penangkapan  terhadap aktivis Papua, Simon Risiard Banundi, saat aksi pengibaran Bintang 14, di Manokwari, Provinsi Papua Barat, Selasa (14/12)siang tadi, karena korban hanya meliput dan tidak terlibat dalam aksi tersebut.


Demikian disampaikan ketua DAP, Forkorus Yeboisembut, saat dikonfirmasi JUBI, di Jayapura, Selasa (14/12). Yeboisembut mengaku, pihaknya menyesali penangkapan terhadap seorang aktivis muda yang sementara melakukan peliputan di tempat kejadian perkara (TKP). “Kami sangat sesali tindakan ini. Seharusnya tindakan tersebut tak boleh terjadi,” ujarnya.

Tak hanya itu, kata dia, DAP juga menyesali adanya perpecahan perjuangan Papua yang sementara berlangsung. Misalnya, bintang 14 yang mengklaim kemerdekaannya jatuh pada hari ini, Selasa. “Ada bintang 14, trus ada bintang kejora trus nanti ada bintang apa lagi,” ungkapnya.

Penangkapan terhadap Simon Risiard Banundi, staf pengkajian dan pengembangan bantuan hukum (LP3BH) Manokwari di TKP saat ditugaskan dari kantornya untuk meliputi kegiatan HUT kemerdekaan Melanesia barat dibawah pimpinan Melki Bleskadit selaku sekretaris jenderal dewan melaniesia barat di Manokwari.

Kegiatan itu berlangsung di lapangan penerangan, tepatnya disamping kantor informasi dan komunikasi (Infokom) Sanggeng, Manokwari, Papua Barat  pukul 09.00 WIT. Selanjutnya, penangkapan dilakukan sejak pukul 12.00 WIT. Dari informasi yang diperoleh JUBI, sebanyak delapan orang mahasiswa yang ditangkap dann ditahan polisi. (Musa Abubar)

Ribuan Korban HAM Papua Terlantar

JUBI --- Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua (SKPHP) menyebutkan, sedikitnya 6.115  korban kasus pelanggara Hak Asasi Manusia di Papua  hingga kini masih terlantar.
"Tak ada itikad baik dari pemerintah untuk memperhatikan nasib para korban," kata Peneas Lokbere, korban kasus Abepura berdarah,  kepada JUBI, di Jayapura, Senin (13/12).

SKPHP mencatat, sebanyak 105 warga korban kasus Abepura berdarah, 7 Desember 2000. Dari 105 korban itu, 10 diantaranya meninggal dunia sementara lainnya masih menderita sakit akibat penyiksaan yang dialami.
Kasus Wasior berdarah, 13 Juni 2001, terdapat 315 korban, 32 diantaranya tewas, lainnya lagi masih terus memperjuangkan nasib mereka.

Selanjutnya, kasus Wamena berdarah, 6 Oktober 2000 dan  4 April  2003 berjumlah 205 korban. 10 orang dari kasus ini meninggal, 3 orang diantaranya tewas seketika usai disiksa dan dianiaya.
Kasus Biak berdarah dan kasus pelanggaran HAM lainnya hingga kini belum terdata secara baik. Data itu dikeluarkan oleh SKPHP dalam momen Hari HAM  10 Desember tahun 2010.

“Negara dan pemerintah daerah enggan menyelesaikan ratusan kasus ini,” tuturnya.

Lokbere menjelaskan, kasus Abepura berdarah disidangkan di pengadilan HAM Makasar pada tanggal 8 – 9 November 2005. Proses persidangan saat itu sangat lambat dan tertutup. Lanjut Lokbere, hasilnya mengecewakan ratusan korban. Dua terdakwa dalam kasus itu, komisaris polisi Daud Sihombing dan kepala Brimob, Jhony Wainal Usman divonis bebas oleh hakim dalam persidangan.

“Mereka berdua ibaratnya pahlawan yang berhasil memimpin pasukan di medan perang sehingga diberi penghargaan dan jabatan tinggi,” ujarnya.

Dia menambahkan, padahal kasus Abepura masuk kategori kasus pelanggaran HAM berat. Hinggga kini para korban dari kasus ini masih terus memperjuangkan nasibnya. Kasus HAM Papua lainnya seperti Biak berdarah, Wasior dan Wamena sudah diajukan ke kejaksaan tinggi di Jakarta, namun sampai saat ini belum ditindak lanjuti.

Sementara itu, Nehemia Yarinap, keluarga korban kasus Wamena berdarah, 6 oktober 2000 dan  4 april 2003. Yarinap menilai, Negara sepertinya menganggap remeh ratusan kasus HAM yang pernah menimpa warga Papua.
“Negara dan pemerintah malas tau (cuek) dengan kasus-kasus ini. Padahal para korban dari kasus-kasus itu masih trauma,” ungkapnya.

Para korban, kata dia, hingga kini masih berupaya meminta pemulihan dari pemerintah.  “Banyak dari kasus-kasus ini yang menelantarkan nasib korban,” kata Yarinap. (Musa Abubar)

Senin, 13 Desember 2010

Orang Tak Dikenal Jangan Dijadikan Isu

JUBI --- Saling tuding berbagai pihak mengenai kasus penembakan terhadap warga sipil yang dilakukan oleh orang tak dikenal sejak dua bulan terakhir ini di Papua, mendapat tanggapan dari salah satu Akedemisi Papua, Josh Mansoben.dengan meminta agar orang tidak dikenaljangan dijadikan isu.

"Orang tak dikenal janganlah dijadikan isu untuk mengkambing hitamkan pihak-pihak tertentu, Namun harus ada penyelidikan yang pasti untuk menentukan siapa sebenarnya pelaku dibalik aksi penembakan itu," ujar Akademisi Papua, Josh Mansoben, kepada JUBI di Abepura, Senin (13/12).

Josh Mansoben, yang juga Dosen Antropologi Fisip Uncen ini, menegaskan, bilamana tidak ada penyelidikan yang jelas, kita bisa saling tuding satu sama lainnya. "Jadi kasus ini harus diungkap, agar kita bisa mengetahui siapa pelaku dibalik semua ini," pintanya.

Mansoben menilai, masalah ini sebenarnya menjadi tanggung jawab pihak kepolisian untuk menemukan dan mengungkap ke publik, siapa dalang dibalik kasus ini. “Kita masyarakat biasa tidak bisa menduga-duga saja, jadi polisi harus profesioal mencari bukti-bukti yang mengarah ke kasus ini, sehingga tidak ada lagi saling tuding berbagai pihak,” pesan Mansoben, mengakhiri pembicaraannya. (Arjuna)

Negara Tidak Perlu Takut Filep Karma

JUBI --- menyusul pelarangan menjenguk Tahanan Politik (tapol) Filep Karma oleh aparat kepoliasian,  Payzon Aitorou,  Dosen Ilmu Hukum dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jayapura  menyarankan agar pihak kepolisian tak perlu menutup akses bagi orang yang mengunjung Karma di Rumah tahanan (Rutan) Polda Papua.

Payzon menilai, penjagaan yang ekstra ketan menandakan ketakutan negara terhadap Karma. Padahal kata Aitorou, dalam diri Karma  tidak ada tindakan perlawanan dan pelanggaran yang dilakukan. “Kalau akses ditutup berarti negara takut sama Filep, seharusnya tindakan itu tidak perlu dilakukan,” kata Aitorou kepada JUBI, Senin (13/12).

Selain itu, dia juga mengatakan, keberadaan Filep Karma juga tidakmembahaya dan merugikan negara. Dalam hukum, kata dia, seorang tahanan mempunyai hak untuk dikunjungi oleh siapapun. Terlebih terhadap keluarga.

Mestinya, kata dia, Komnas HAM dan kementrian hukum dan HAM Papua perlu mengintervensi persoalan ini, karena terkait dengan hak tahanan untuk dikunjungi. “Komnas HAM dan kementrian hukum dan HAM Papua harus selesaikan masalah ini,” ungkapnya.

Sementara itu, kepala bidang hak asasi manusia Kantor Wilayah Hukum dan HAM Papua di Jayapura, Abdul Kadir  menngatakann, pihaknya sementara masih berkoordinasi dengan Polda Papua agar membuka akses bagi Karma dan Tabuni Cs.  “Kami sementara masih lakukan koordinasi untuk selesaikan masalah ini,” katanya.  (Musa Abubar)

Minggu, 12 Desember 2010

Papua Jangan Diidentikan Dengan Daerah Konflik

Suasana saat diskusi perdamaian (JUBI)
JUBI --- Semua orang ingin Papua sebagai Tanah Damai, saling toleransi dan menghargai, beraktivitas dengan aman dan kebutuhan-kebutuhan hidupnya terpenuhi, sebabnya perlu ada penegeasan bahwa Papua janganlah diidentikan dengan daerah konflik

Hal tersebut disampaikan Septer Manufandu, Direktur Eksekutif FOKER (Forum Kerjasama) LSM Papua, ketika tampil sebagai pemateri dalam diskusi bertajuk ‘Membangun Perdamaian Pada Komunitas Pendatang di Tanah Papua’.  "Jika kita tidak memahami konsep dialog tersebut akan rancu dan salah persepsi tentang Papua, sebab memecahkan persoalab Papua harus lewat dialog juga," ujar Septer Manufansu, di Jayapura, Sabtu (11/12). 

Dia menegaskan, Papua tidak identik dengan rambut keriting dan kulit hitam dan daerah konflik, itu konsep dan perspektif yang salah. Sementara itu, Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), Anum Siregar, menilai konsep dialog Jakarta-Papua bukan merupakan persoalan sepele. karena itu, mesti dipahami dalam konsep ke-Papua-an. “Dialog ini bukan soal Identitas, tetapi persoalan Papua yang sangat pelik,” katanya lagi.

Salah satu peserta, Harry Maturbongs, berpendapat, konsep dialog mesti dimengerti sebagai konsep simbiosis mutualisme. “Dialog mesti berlaku non violence,” kata Harry. Hadir pula dalam diskusi ini beberapa tokoh agama lainnya, perwakilan Majelis Rakyat Papua, LSM, akademisi dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Papua dan instansi lainnya.  (Timo Marten)

Sabtu, 11 Desember 2010

SKP Timika Peringatkan Kasus Tingginambut

JUBI --- Jika Pemerintah Indonesia beritikad baik dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) di Papua, seharusnya aparat Militer Indonesia bekerja tidak setengah-setengah menuntaskan kasus HAM.

Demikian disampaikan Ketua Sekretariat Keadilan Perdamaian (SKP) Keuskupan Timika, Saul Wanimbo di kediamannya Timika, sabtu (11/12). ”Kelima pelaku yang terbukti serta diadili dan disanksi administrasi, seharusnya diseret ke pengadilan HAM selayakanya pelaku pelanggar HAM berat,” paparnya, sabtu.

Situasi pelanggaran serta tindaklanjut menuntaskan HAM di Papua, kata Wanimbo telah meninggalkan jejak-jejak buruk bagi kredibilitas aparat TNI/POLRI di Papua. Sehingga Ia menilai proses peradilan terhadap pelaku bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk warga sipil. ”Kepercayaan terhadap aparat TNI maupun Polri sudah hampir tidak ada. Komunitas sipil papua bersama komnas HAM dan Komda HAM Papua ambil langkah sesegera mungkin,” ucapnya.

Terkait dengan kasus-kasus HAM di Papua, SKP Timika mengemukan sejumlah pokok permasalahan sehingga kasus-kasus HAM di papua. Katanya Polisi dan tentara tidak pernah memuaskan pihak korban maupun warga sipil. Bahkan terus melakukan pelanggaran HAM di Papua dari tahun ke tahun.

SKP Timika mengemukan sejumlah alasan lemahnya penegakkan HAM di Papua. Pertama: Selama ini pihak Militer Indonesia melihat kasus pelanggaran HAM di Papua sebagai pelanggaran biasa. Ia mencontohkan tindaklanjut pelanggaran HAM yang diselesaikan secara intern dalam institusi aparat TNI maupun Polri. Kedua: Kasus Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, seolah-olah dipandang oleh aparat TNI/POLRI sebagai pelanggaranb aturan militer. ”Padahal ini kasus-kasus pelanggaran HAM
berat di tanah papua,” jelasnya.

Ketiga: Belum ada desakan dari komunitas-komunitas sipil rakyat papua,untuk memproses pelaku ke tingkat peradilan HAM. ”jadi para pelaku di Tingginambut maupun di mana saja, harus diadili di pengadilan HAM selain ada sanksi organisasi atau intitusi asal,” paparnya.

Kata rohaniwan Katolik Keuskupan Timika itu, langkah demikian penting dilakukan untuk menertibkan anggota militer yang bertindak semena-mena di tingkat lapangan. ”kalau atasan aparat militer tegas menindak anakbuahnya, maka kewaspadaan untuk tidak berbuat pelanggaran (HAM) pasti akan timbul. Tapi sayangnya para pelaku dibiarkan begitu saja dengan cara memberikan sanksi intern. Ini tidak sesuai dengan aturan kemanusiaan,” ujarnya. Setiap personil militer harus ditindak sesuai
jalur peradilan HAM.

SKP Timika juga mempertanyakan membandingkan penyelesaikan kasus Tingginambut tahun 2010 dengan kasus lainnya kejahatan dan pelanggaran HAM lainnya di Papua. ”Peristiwa rekaman Video di Tingginambut ini muncul dan dituntaskan dalam kurung waktu 2 minggu, sebelum kunjungan Presiden Obama ke Indonesia,” imbuhnya.

Bila dibandingkan dengan kasus HAM lain di Papua, masih banyak kasus HAM yang belum dituntaskan sampai sekarang. Seperti kasus Wasior tahun 2004, Opinus Tabuni Tahun 2007 dan lainnya. ”Jadi seolah-olah sebelum kunjungan presiden Obama (Presiden AS) ke Indonesia, aparat Militer ini terkesan bekerja mencapai peradilan militer untuk memperbaiki citra militer Indonesia di mata Amerika Serikat,” nilainya.

Ia menerangkan tujuan peradilan militer di Indonesia bukan bertujuan mengadili pelaku dan berkeinginan menegakkan HAM di Papua. Senyata-nyata, SKP berpendapat, TNI/POLRI di Papua telah bekerja memihak pihak tertentu. Ketimbang menegakkan HAM secara jujur dan adil secara independent.

Katanya realita tersebut berbeda dengan misi HAM yang kini diemban oleh negara berlambang Pancasila. ”padahal sesuai dasar hukum negara Republik Indonesia mestinya menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, termasuk menciptakan berkehidupan berbangsa dan bernegara yang bebas,” tuturnya. (Willem Bobi)

Wanimbo : Kejahatan Tidak Membuat Papua Damai

JUBI --- Papua sebagai tanah damai hingga kini belum berjalan secara baik, dalam artian kedamaaian perlu di wudugnyatakan lebih lagi dalam kehidupan kita masing-masing.
"Papua sebagai tanah damai tidak akan pernah terwujud kalau rasa keadilan belum pernah tercapai," kata Ketua Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Timika, Saul Wanimbo, di Timika, sabtu (11/12).

”Tetapi ide dan pemahaman tersebut hampir tidak ada sekarang. Masih banyak terjadi konflik sana-sini dalam segala bentuk. Termasuk penerapan ketidakadilan antar golongan dan individu dalam kehidupan bermasyarakat,” ujar Rohaniwan itu.

Hampir satu dekade ’Papua tanah damai’ telah dikampanyekan secara rutin, namun menurutnya, para pelaku kejahatan kemanusiaan dan pelanggar hak azasi manusia (HAM) terus bertambah. bahkan para pelaku ini belum diadili secara transparan. ”Padahal mereka ini harus diberi hukum setimpal sesuai perbuatan dan hukum yang berlaku,” paparnya.

Selama ini pula penegakan hukum di Papua dinilai masih lemah. ”Seolah-olah penegak hukum main tebang pilih, padahal hukum di
Indonesia harus berlaku sama bagi semua orang di republik ini,” tekannya. Dalam konteks hukum di republik indonesia, katanya, siapa pelaku kejahatan harus diadili sesuai hukum. ”sekali lagi, para penegak hukum terutama pihak polri (Kepolisian republik Indonesia) harus tegas dan bekerja profesional,” tuturnya.

Dalam penyelesaian kasus konflik, Wanimbo juga menegaskan penerapan hukum positif tidak boleh digantikan oleh hukum adat. ”Seperti denda harta atau uang boleh dilakukan secara adat. Tetapi hukum positif juga harus dijalankan,” terangnya.

Dia menilai, hingga kini di Timika, pemberlakuan hukum positif selalu digantikan dengan hukum adat. ”Para pelaku pembunuhan atau perang antar kelompok masyarakat tak boleh hanya berhenti dengan cara membayar kepala,bahkan pelaku pembunuhan dan pemilik perang di Timika ataupun di mana saja harus diseret sampai meja hijau,"

Lebih lanjut soal penghayatan hukum, Wanimbo mengatakan penerapan hukum yang setengah hati hanya menciptakan kebimbangan, keraguan dan kebimbangan di tengah masyarakat. Buktinya, di Timika para pelaku kejahatan dan pelanggara kemanusiaan tidak pernah masuk ke penjara.  ”Ini karena kurangnya kontrol dari aparat penegak hukum, serta bertugas setengah hati,” jelasnya.

Penegakkan hukum dengan hanya membayar kepala ratusan juta tak pernah menuntaskan konflik serta tak akan pernah memberantas pelaku kejahatan dan pelanggar kemanusiaan. Ketegasan itu dilontarkan Wanimbo dalam rangka menyambut hari HAM sedunia, Jumat (10/12) kemarin. ”Semoga peringatan HAM tahun ini dapat membantu semua pihak untuk menghayati dan menghargai HAM,” pesannya. (Willem Bobi)

Wanda : Jangan Biarkan Kekerasan Terjadi Di Papua

JUBI --- Masih terjadinya  kekerasan di tanah Papua, membuat rasa kepedulian dari Ketua Yayasan Persekutuan Pelayanan Masirey (YPPM) Papua, Pdt. Ester Wanda, STh, dengan mengajak berbagai masyarakat Papua untuk menghentikan kekerasan dan saling menghargai terhadap sesama.
"Kekerasan perlu di hapuskan, jangan biarkan hal tersebut terjadi, sebab itu melanggar hak seseorang untuk hidup secara baik," ujar Ketua YPPM Papua, Ester Wanda, kepada JUBI di Jayapura, Sabtu (10/12), Dia menjelaskan, pihaknya juga mengajak lewat pembagian 300 bunga pada hari HAM Jumat (10/12), juga menindaklanjuti keberpihakan kepada anak asli Papua, dimana pemerintah tidak lagi mengabaikan hak-hak dasar orang Papua.

Kegiatan pembagian bunga di lakukan sepanjang Abepura - Kotaraja, Kota Jayapura, Papua, sekaligus bersamaan dengan acara puncak pembakararan 1000 lilin secara simbolis di halaman kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) oleh masyarakat dan anggota MRP yang hadir.

Pantaun JUBI, terlihat setangkai bunga yang dibagi bagikan bunga mawar dua warna, putih dan merah, dan diselipkan kertas bertuliskan "Human Right DAY" 10 December 2010. "STOP SUDAH" Kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua. "Bunga yang dibagi sebanyak 300 tangkai, guna memperingati hari HAM sedunia serta menjadi motivasi untuk mengurangi kekerasan di tanah Papua," tandasnya.

YPPM adalah salah satu organisasi swadaya masyarakat yang konsen dan peduli dengan masalah HIV/AIDS di tanah Papua, disisilain hingga kini telah melayani sekitar 30 orang ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV/AIDS (Odha). "Pelanggaran HAM berupa kekerasan juga berdampak pada terjangkitnya penyakit HIV, sehingga perlu di lawan," akuinya.

Jadi, bukan hanya hutan dan kekayaan alam saja, kata dia, yang menjadi konsen pelanggaran HAM, tetapi kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi bagian dari pelangaran HAM. "Perlu ada tindak lanjut dan perhatian dari pemerintah, sebab dengan melihat estimasi total angka HIV/AIDS sebanyak 6000 kasus saat ini di Papua, sudah saatnya direhabilitasi dan diasramakan mereka yang perlu ditolong," harapnya. (Eveerth Joumilena)

Jumat, 10 Desember 2010

Hari HAM, Aktivitas Kampus Uncen Dihentikan

JUBI --- Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang jatuh pada hari ini, Jumat (10/12), membuat aktivitas Kampus Universitas Cenderawasih Jayapura, Papua dihentikan.
Benyamin Gurik, pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Uncen mengatakan, menjelang perayaan hari HAM sedunia pada hari ini, pihaknya telah berkoordinasi dengan pihak kampus untuk menghentikan aktivitas perkuliahan. “Kami sudah sepakat dengan pihak kampus untuk hentikan perkuliahan. Aktivitas kampus hari ini mati, tidak ada perkuliahan,” kata Gurik saat dikonfirmasi JUBI, Jumat (10/12).

Gurik mengaku, ada sebagian mahasiswa yang melakukan perkuliahan mengingat masa ujian. Namun, perkuliahan tersebut tak lama dilakukan. “Tadi memang ada mahasiswa yang kuliah tapi tidak lama. Mereka hanya ujian trus pulang sekitar jam delapan pagi.”

Kata dia, tak hanya aktivitas Kampus yang dihentikan, namun Kampus juga dipalang. Sehingga kelanjutan aktivitas lainnya di Kampus tidak terlakasana. “Tadi tidak hanya pengentian aktivitas perkuliahan. Teman-teman juga palang kampus jadi tidak ada proses aktivitas lainnya mati.”

Selanjutnya, lanjut dia, sejumlah mahasiswa melakukan longmarch dari Kampus Uncen Baru, Perumnas III Waena hingga ke Kampus Lama, Padang bulan Abepura. Aksi longmarch itu dilakukan sejak pukul 07.00 WIT sampai pukul 08.00 WIT. “Tadi kami longmarch tapi hanya berlangsung selama satu jam saja,” katanya.

Gruik menambahkan, secara pribadi, dirinya sangat prihatin dengan situasi HAM di Papua terkait sejumlah kasus yang sementara terjadi belakangan ini. Dia menilai, situasi Papua saat ini tak mampu diselesaikan aparat kepolisian dan pemerintah.

Tak hanya Uncen yang menghentikan aktivitas perkuliahan dan lainnya, kelompok perempuan beserta korban pelanggaran HAM Papua dan NGO simpati HAM di Jayapura juga menggelar kegiatan pembakaran seribu lilin di halaman Kantor Majelis Rakyat Papua pada pukul 18.00 WIT dengan maksud memperingati hari Hak Asasi Manusia sedunia. (Musa Abubar)

Bunas : Proses Karma dan Tabuni Tanggung Jawab Polisi

JUBI --- Kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Papua, Nazarudin Bunas mengatakan, proses lanjutan dari Filep Karma dan Buchtar Tabuni merupakan tanggung jawab dari aparat kepolisian.
“Proses Karma dan Buchtar bersama tiga orang rekannya merupakan domainya polisi. Kami tidak punya hak,” ujar Bunas saat dikonfirmasi JUBI, Jumat (10/12). Menurutnya, pihaknya tak bisa banyak turun tangan untuk menangani kasus itu.

“Kami tidak bisa berbuat banyak untuk mereka karena yang jelas mereka juga pelaku dari kericuhan itu, ucapnya. ditambahkan, ada huru-hara pasca kericuhan itu terjadi. huru-hara itu dilihat sendiri oleh kepolisian. “Yang jelas begini ada pengrusakan dalam keributan itu jadi harus diproses. Dan menurut Polda tidak masalah.” Kata Bunas,
pihaknya sudah menghadap Direskrim untuk meminta penahanan lima orang narapidana dan tahanan LP tersebut diproses sesuai hukum.

Sementara itu, Buchtar Tabuni, tahanan Politik Papua menyebutkan, sebenarnya rekan mereka yang mengamuk dan melempari kantor Lembaga karena hendak mendengarkan penjelasan dari Kalapas terkait penembakan terhadap Miron Wetipo.

Tabuni  mengaku, saat itu dirinya telah menemui Nazarudin Bunas dan meminta bantuannya untuk menghungi Kalapas untuk memberi kejelasan. Namun, jawaban yang didapat dari Bunas adaah sudah menghubungi pihak Komnas HAM Papua untuk mediasi.
“Waktu itu saya sempat bicara dengan kakanwil dan minta dia hubungi kalapas, tapi dia bilang sudah hubungi Komnas HAM datang untuk mediasi,” ujar Tabuni saat dikunjungi JUBI di rutan Polda Papua, Jumat (3/2) pekan lalu.

Akibat pasca kericuhan itu, Jumat (3/12) sore, lima orang tahanan dan narapidana dipindahkan dari LP Klas II A Abepura ke rutan Polda Papua. Hingga kini mereka masih berada di rutan Polda Papua. (Musa Abubar)

Masalah Papua Selalu Diselesaikan Dengan Kekerasan

JUBI --- Direktur aliansi demokrasi untuk Papua (ALDP), Anum Siregar menilai, hingga kini masalah Papua masih diselesaikan dengan cara kekerasan. Pemerintah dan pihak berwajib tak pernah menyelesaikannya secara damai dan bermartabat.
“Negara dan pemerintah daerah tidak pernah ajak kelompok-kelompok masyarakat, NGO dan agama untuk duduk membicarakan masalah secara baik,” ujar Siregar kepada JUBI, Jumat (10/12).

Anum menyebutkan, buktinya sejumlah kasus yang telah terjadi pekan ini seperti kasus penggrebekan di rumah milik warga di lokasi Workwana di Arso, Kabupaten Keerom Kota Jayapura, oleh TNI yang diduga kuat sebagai tempat persembunyian Lambert Pekikir, ketua OPM diwilayah itu, Penembakan Nafri dan terakhir penembakan terhadap seorang narapidana, Miron Wetipo yang berbuntut kericuhan di LP Abepura dan berujung pada pemindahan lima orang narapidana dan tahanan termasuk didalamnya Filep Karma dan Buchtar Tabuni dari LP ke Polda Papua.

Lanjut Anum, sejumlah kasus itu tidak diselesaikan secara baik. Pengambil kebijakan di pemerintahan juga nyaris diam. “Sejumlah kasus ini terus terjadi melanda Papua tapi tidak ada upaya penyelesaian yang baik.”
Bagi dia, seharusnya ada kejelasan yang baik kepada pablik dengan melibatkan semua pihak. Warga berhak mendapat kejelasan dan memperoleh solusi dari kasus kekerasan yang terjadi tersebut.

Akses hukum, kata dia, untuk memprosesnya juga kandas. Seolah-olah semua kasus itu dibalas dengan kejahatan. Tidak ada proses hukum yang ditegakan. Padahal Negara ini merupakan Negara yang kental dengan penegakan hukum. “Hukum tidak pernah diberlakukan dan ditegakan dinegara ini.”

Dia menambahkan, jika akses hukum dan diskusi diprioritaskan maka sudah pasti persoalan Papua bisa terselesaikan. Selain itu, klarifikasi dan keterbukaann juga perlu diperhatikan bersama dalam menyelesaikan masalah Papua.

Kasus lain yang hingga kini terabaikan yakni kasus pengibar bintang kejora di demta 10 November 2010, Penembakan warga di Puncak Jaya, kasus Abepura berdarah, 7 Desember 2000 dan kasus penembakan penembakan di Kampung Nafri, Distrik Abepura, Kota Jayapura, pada 28 November pekan lalu. “Semua kasus ini tidak pernah ada upaya penyelesaian,” tandasnya. (Musa Abubar)

Keluarga Filep Karma Surati Kalapas

JUBI --- Terkait penutupan akses terhadap keluarga Filep Karma dan mogok makan yang dilakukannya, maka pada Sabtu (4/12), pihak keluarga melayangkan surat kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan (LP) Klas II A Abepura, Liberti Sitinjak.
Berikut bunyi surat yang dilayangkan, atas nama keluarga mohon kepada Bapak memohon maaf karena mengganggu Bapak di hari libur ini, mengingat kondisi kesehatan yang memprihatinkan dari narapidana Drs. Filep J.S Karma maka kami mohon ia bisa mendapat perawatan karena yang bersangkutan kondisinya masih sangat lemah dan sakit.

Pelu Bapak ketahui juga bahwa saat ini Bapak Filep Karma sedang ‘Mogok Makan’ dengan alasan dia dipindahkan ke Polda Papua tanpa penjelasan dari pihak lapas Klas II A.Bapak Filep sudah tidak makan sejak dipindahkan, Jumat (3/12) hingga Selasa (7/12) dan masih terus berlangsung, maka kami kuatir akan mengakibatkan dehidrasi. Kami mohon pertolongan Bapak agar kondisi ini dapat diatasi.

Selain itu, keluarga dan kerabat dapat diberi kemudahan untuk membesuk saudara kami sesuai haknya sebagai narapidana. Selanjutnya, narapidana  politik Papua jangan dipindahkan dari Tanah Papua seperti yang keluarga dengar bahwa Napol atas nama Filep Karma akan dipindahkan ke Nusakambangan.

Menurut keterangan dari pendeta Clasina Karma, adik kandung Filep, surat tersebut diantar saat itu ke Lapas namun Kalapas tidak berada ditempat. “Katanya, hari libur sehingga beliau tidak berada ditempat,” kata Clasina via pesan pendek yang dikirim ke  JUBI, Jumat (10/12).

Saat dikonfirmasi, Clasina mengatakan, surat tersebut sudah dititipkan ke petugas sipir yang bertugas saat itu. “Kami sudah titipkan surat itu ke petugas yang melayani kami saat itu di LP,” ungkapnya.

Hingga kini pihak keluarga belum mendapat jawaban dari LP terkait surat yang dilayangkan. Akses untuk menemui Karma juga masih ditutup. Aksi mogok makan dari Filep Karma juga masih berlangsung.

Surat itu juga dikirim ke beberapa instasi pemerintahan terkait baik lokal, nasional maupun internasional. Diantaranya, Kapolda Papua, Ketua DPRP, Ketua MRP, Kakanwil Departemen Hukum dan HAM Papua, Amnesti Indonesia, dan Amnesti Internasional. (Musa Abubar)

KNPB Klaim Papua Zona Darurat

JUBI --- Berdasarkan situasi dan kondisi Papua yang saat ini terjadi, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Jayapura mengklaim Papua sebagai daerah zona darurat.

Demikian disampaikan ketua I KNPB, Mako Tabuni saat diwawancarai JUBI, Jumat (10/12) malam. Menurutnya, berdasarkan situasi saat ini yang kurang kondusif maka kami mengklaim Papua sebagai daerah zona darurat menjelang peringatan hari HAM sedunia yang jatuh pada hari ini, Jumat (10/12).

Dari release yang diterima JUBI, terdapat 10 point acuan penetapan Papua sebagai daerah zona darurat. Diantaranya, mukhadimah PBB tentang deklarasi universal hak-hak manusia tanggal 10 Desember 1948, Deklarasi PBB nomor 1514 tentang memberikan pemerintahan sendiri kepada Negara-negara jajahan, Perjanjian New York Agreement, 16 Agustus 1962 dan Roma Agreement 1962 dengan tidak berpihak pada  rakyat namun berpihak pada persengketa perwakilan Bangsa Papua.

Selanjutnya, aneksasi bangsa Papua Barat oleh PBB (Untea) kepada Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 sebelum Pepera 1969, kesepakatan kontrak karya antara Indonesia dan AS (Bettle MicMoran PT. Freeport pada 1967) dan pelaksanaan Pepera 1969 yang penuh rekayasa dan kekerasan militer sejak tahun 1963 -1969.

Dalam release itu juga terdapat empat tuntutan, antara lain pertama, PBB (Untea), Amerika, Belanda dan Indonesia harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM terhadap rakyat Papua di tanah Papua. Dua, International Lowyer West Papua (ILWP) dan Negara-negara pendukung segera mendesak komisi HAM PBB untuk menginvestigasi kejahatan Negara republic Indonesia terhadap rakyat Papua.

Tiga, Komisi HAM PBB segera menyeret Presiden Susilo Bambang Yuhodyono, Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat, Kapolda Papua, Pangdam, Kakanwil Hukum dan HAM, Kalapas Klas II A Abepura, Rektor Uncen, Ketua MRP, dan Ketua DPRP ke Pengadilan Mahkamah Internasional. Terakhir, semesta alam dan rakyat Papua ditanah ini memberikan kepercayaan penuh kepada ILWP dan IPWP untuk segera mendesak PBB dalam menyelesaikan status Politik Bangsa Papua Barat.

Mako menyebutkan, release yang dibuat tersebut telah disepakati dan ditandatangani oleh seluruh komponen organ gerakan yang ada di Jayapura. “Release ini ditandatangani oleh semua organ gerakan yang ada,” katanya. (Musa Abubar)

Polisi Diharapkan Lebih Profesional

JUBI --– Penembakan dan pembunuhan terhadap masyarakat sipil tak berdosa terus saja terjadi hingga kini, sehingga membuat masyarakat tidak lagi merasa nyaman dalam melakukan aktifitas sehari-hari, sebabnya aparat kepolisian diharapkan dapat mengungkap setiap kasus-kasus tersebut. 

“Semua ini kembali kepada profesionalisme kepolisian dalam rangka melindungi masyarakat,” Kata Ruben Magai, Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), kepada JUBI, di Jayapura, Jumat (10/12). Dia menyatakan, masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua sudah menjadi wacana di masyarakat internasional.

“Pelaku pelanggaran tidak dikenal tetapi alat yang digunakan adalah alat yang hanya dimiliki oleh negara, sehingga pertanyaan saya adalah alat itu diperoleh pelaku dari siapa?,” lanjut Magai. Profesionalisme polisi dalam memeriksa semua alat yang masuk ke Papua, kata dia, harus lebih dimajukan mengingat secara geografis, Papua berada dalam area perbatasan RI-PNG. “Sebagai pemerintah, kita seharusnya membuat hal baru yang dapat dilihat pihak internasional sebagai niat baik dalam menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM di Tanah papua, agar tidak mendapat intervensi masyarakat internasional,” tuturnya.

Ruben Magai menambahkan, hal ini dilakukan agar tidak menjadi konsumsi dunia terus menerus, tetapi bila hal ini terus dipelihara maka negara sendiri yang akan malu. Dirinya menilai, ada konflik dalam sejarah masa lalu, yakni Konflik inilah yang harus diselesaikan, sementara Tokoh-tokoh Papua sedang meminta dialog yang komprehensif dan bermartabat artinya Orang Papua tetap menggunakan pendekatan-pendekatan kemanusiaan tetapi dibalas dengan pendekatan militer yang demikian ketat. “Orang Papua hanya minta dialog untuk meluruskan sejarah masa lalu yang menjadi akar konflik. dialog tidak akan memakan korban” tandasnya. (Aprila Wayar)

Pangdam Akui Pelaku Pembakaran Bukan Matias Wenda Cs


JUBI --- Peristiwa kebakaran salah satu rumah anggota TNI di Jayapura, diakui Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Brigjen TNI Erfi Triassunu, bahwa hal tersebut bukan dilakukan oleh kelompok separatis yang dipimpin oleh Matias Wenda.

"Ada dokumen yang ditinggalkan oleh pelaku pembakaran dengan mengatasnamakan Matias Wenda. namun setelah dikonfirmasi, tokoh OPM itu membantah dengan tegas, bukan kelompoknya yang melakukan pembakaran itu," kata Pangdam Cenderawasih Erfi Triassunu, di Jayapura, Jumat. (9/12).

Hal ini disampaikan menyikapi peristiwa naas yang menimpa rumah milik Mayor CAJ JB. Jatmiko anggota Ajendam XVII/Cenderawasih pada Selasa (7/12) dinihari lalu dibakar oleh orang tidak dikenal. Dirinya menduga aksi pembakaran rumah anggota TNI yang dilakukan oleh orang tidak dikenal itu ada kaitannya dengan aksi penembakan yang terjadi di Kampung Nafri beberapa waktu lalu.

"Kemungkinan itu ada kaitannya, ini yang masih terus diselidiki. Sedangkan mengenai dokumen yang ditemukan, saya menilai perbuatan itu dilakukan oleh orang yang memahami betul teknologi karena itu hanya rekayasa dari orang yang tidak menginginkan Papua damai," nilainya.

Ditambahkan, tidak ada penambahan pasukan dalam menjaga keamanan disana, yang dilakukan adalah hanya menambah jumlah personil pada saat jaga, dimana mungkin sebelumnya hanya satu anggota yang berjaga di pos kini ditambah menjadi dua orang atau lebih," tuturnya.

Informasi yang diterima JUBI, kebakaran ini diduga akibat bom molotov karena setelah dilakukan olah TKP yang dilakukan oleh aparat Polresta Jayapura bersama Pomdam XVII/Cenderawasih ada ditemukan serpihan botol. Kebakaran tersebut mengakibatkan rumah rusak dibagian atap hingga plafon, namun tidak ada korban jiwa karena rumah tersebut sedang kosong. "Meski ditemukan serpihan botol, belum ada kepastian dari hasil penyidikan menyebutkan kebakaran karena bom molotov. Saat ini indikasinya murni dibakar orang tak dikenal," kata Pangdam.

Ketika disinggung mengenai isi dokumen, ujar Pangdam, saat ini dokumen tersebut ada di tangan Polri. Sementara mengenai dokumen tersebut berisikan pesan yang menyatakan akan menyerang pos-pos TNI yang ada di Kabupaten Keerom, Papua. "Dalam hal ini, telah diperintahkan kepada anggota TNI yang bertugas di wilayah Kabupaten Keerom untuk meningkatkan pengawasan di setiap pos-pos," tandasnya. (Eveerth Joumilena)

Kasus Pelanggaran HAM Papua Dinilai Masih Berlanjut


JUBI --- Kekerasan terhadap warga sipil dan kasus pelanggaran HAM di Papua secara umum masih terus berlanjut, bahkan sejumlah kasus tersebut mengalami kemunduran.

Hal ini disampaikan Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Papua, Harry Maturbongs, sekaligus menyambut hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional pada Jumat (10/12) besok.

"Penyelesaian kasus pelanggaran HAM hingga kini mengalami kemunduran, sebab hingga kini tidak ada langkah maju dan perhatian yang serius dari pemerintah,” ujarnya kepada wartawan dalam sebuah jumpa pers di Abepura, Kamis (9/12).

Dia menjelaskan, refleksi yang disampaikan kali ini dilakukan untuk menjelang peringatan hari pelanggaran HAM sedunia yang jatuh pada Jumat (10/11) besok. Tapi juga, mengingatkan kembali pemerintah agar berupaya menuntaskan kasus HAM yang selama ini masih melanda Papua.

Dari realese yang diberikan menjelaskan, setelah berjalan kurang lebih sembilan tahun ternyata harapan adanya Otsus Papua membuat Papua lebih damai dan “absen”akan kekerasan justru tidak berbanding lurus. Tapi juga tak membuahkan harapan atau cita-cita Otsus itu sendiri.

Perlu juga di catat bahwa ada sejumlah kasus besar misalnya, kasus Wasior, Wamena, puncak Jaya, Tinggi nambut, Serui, Abepura –Uncen, Mamberamo, Nabire, Manokwari dan penangkapan serta penahanan beberapa orang aktivis pro demokrasi merupakan potret nyata kasus yang terjadi selama era Otsus Papua.

Seluruh kasus tersebut tidak satu pun terselesaikan dengan baik atau pun melalui mekanisme legal yang seharusnya di lakukan oleh aparat keamanan dan hukum dengan semestinya. Dalam arti bahwa penyelesaiannya belum memberikan rasa keadilan bagi orang Papua di mana para pelakunya belum pernah diadili oleh Negara.

Sementara itu, Yusman Conoras dari Foker LSM Papua menilai, hingga kini tak peran dari lembaga yang berpihak kepada rakyat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Papua. Diantaranya, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Majelis Rakyat Papua, dan Pemerintah Provinsi Papua.

Konoras menambahkan, lembaga-lembaga ini nyaris melupakan kasus HAM Papua. dengan demikian tak ada upaya penyelesaiannya. “Lembaga-lembaga ini sampe sekarang nyaris tidak bertindak terhadap sejumlah kasus HAM yang terjadi di Papua sampai saat ini,” ungkapnya. (Musa Abubar)

Polda Papua Diminta Usut Pelaku Pembunuhan Riky Zonggonau


JUBI --- Persatuan Keluarga Korban dan Solidaritas Masyarakat Paniai (PKKSMP) mendesak kapolda Papua untuk membentuk tim investigasi independen dalam mengusut pelaku pembunuhan Riky Zonggonau Oktober lalu.

“Kiranya DPR Papua menggunakan hak intarplasi untuk mempertemukan Kapolda dan NGO HAM untuk membentuk tim investigasi dalam mengusut pelaku pembunuhan Riky Zonggenau,” kata Juru Bicara PKKdSMP, Yosias Yeimo, di Padang Bulan, Abepura, Papua, Kamis (9/12).

Menurut Yosias, pelaku segera diusut tim independen karena hingga kini aparat kepolisian du paniai masih mengabaikannya. "Tanggal 9/11/2010 keluarga korban menemui bupati dan elemennya untuk menanyakan kejelasan kasus ini. Selanjutnya mereka mendatangi Polres Paniai dan pemerintah daerah (Pemda) pada 25/11/2010 untuk menanyakan lagi.

Karena, kata dia, pada saat itu kapolres Paniai berjanji untuk mengusut tuntas pembunuh misterius itu, namun hingga kini belum juga jelas, "Kiranya pihak kepolisian bisa segera mengungkap pelakunya, sebab pelakunya pasti orang profesional dan terlatih dalam membunuh,” katanya.

Data yang dihimpun Tim Pencari Fakta, awalnya Riky dipukul dua orang oknum aparat keamanan di depan PLN tak jauh dari Pasar Enarotali, Nabire, Papua, pukul 22.00 WIT, Jumat (15/10) malam. Selanjutnya nyawa Riky tak diketahui. Insiden itu bermula saat dua pengendara sepeda motor menarik baju Riky dan memukulnya
hingga tewas. Saksi menuturkan, dua pengendara tak dikenal itu mengenakan jeket dan topi pet hitam dan menjunjung senjata api.

Hingga kini jasadnya belum ditemukan. “Karena hanya tim investigasi independen yang bisa melacak pelakunya nanti,” harap Yosias Yeimo. (Timo Marten)

Jelang Natal, Polisi Akan Gelar Tiga Operasi

JUBI --- Menjelang perayaan natal dan tahun baru bagi umat nasrani, aparat kepolisian akan menggelar tiga operasi, yang bertujuan untuk menjaga kententraman dan kenyamanan warga.

“Yang jelas menjelang natal dan tahun baru ada tiga operasi yang akan dilakukan,” ujar Kapolres Jayapura, AKBP. Imam Setiawan, SIK, kepada pers di Jayapura, Kamis (9/12) malam.

Setiawan menjelaskan, pertama, operasi pekat dua. Operasi pekat dua ini sasarannya tentang penyakit masyarakat. Penyakit masyarakat yang dimaksudkan meliputi mabuk, judi, dan miras. “Pokoknya itu semua akan kami lakukan.”

Menurutnya, operasi tersebut merupakan bagian dari pra kondisi yang akan dilakukan. Sehingga memasuki perayaan natal dan tahun baru, situasi sudah lebih kondusif. Lanjut dia, hingga kini pihaknya sementara melakukan operasi tersebut terhadap berbagai penyakit masyarakat. Dari operasi itu sebanyak 13 senjata tajam (sajam) berhasil disita dari tangan warga. “13 sajam ini merupakan hasil yang kami capai dalam operasi sudah berjalan.”

Operasi kedua yaitu, operasi Papua damai. Operasi ini adalah suatu tindakan kepolisian untuk memberikan kesadaran kebangsaan kepada masyarakat Papua. “Sekarang kami telah melakukan penggalangan terhadap beberapa komponen masyarakat baik yang bertentangan maupun yang selama ini sejalan.”

Kata dia, aparat akan mendekati kelompok masyarakat yang selama ini belum memahami apa itu NKRI. “Kita akan lakukan pendekatan sekaligus memberikan bahan kontak seperti Alkitab,Alquran, gitar dan alat olahraga termasuk juga anak babi untuk dipelihara warga.”

Pemberian itu dimaksudkan agar ada aktivitas yang bisa dilakukan warga yakni ada upaya pemeliharaan. “Kalau kita kasih babi besar berarti langsung dipotong lalu dagingnya dibagi habis. Tapi kalau anak babi tidak bisa potong harus dipiara. Babi ini akan kami beli karena sudah ada anggarannya.” Tindakan ini dilakukan agar ada aktivitas sehari-hari yang dilakukan yakni memelihara hewan ini.

Opreasi terkhir yaitu operasi antik. Operasi ini sasarannya adalah narkotika. Sementara ini aparat keamanan sudah mengamankan berberapa pelaku terkait antik dalam operasi yang sudah dilakukan sejak tanggal 29 November lalu hingga kini. Tindakan ini dilakukan karena barang antik bebas dijual. Penjualan narkotika secara bebas mengakibatkan masyarakat rata-rata telah menggunakan.

Lanjut dia, penggunaan tersebut merupakan pembiusan. Tak hanya barang antik, aparat juga akan melakukan operasi terhadap obat-obat terlarang lainnya.

Terakhir, operasi yang dilakukan adalah operasi terhadap kendaraan atau lalulintas. “Akan ada swiping terhadap kendaraan roda dua, khususnya yang menggunakan knalpot rezing. Kenalpot ini kan sangat-sangat mengganggu jalannya ibadah baik umat nasrani maupun islam.” Suara knapolt rezing yang mempengaruhi jalannya ibadah.”

Tapi juga, mempengaruhi jam istirahat warga khususnya mereka yang tinggal di pinggir jalan. “Apalagi mereka yang tinggal di tanjakan jalan, jelas akan terganggu karena pengendara tancap gas jika menaiki tankjakan. Sudah jelas mengganggu skali kenyamanan masyarakat saat istirahat.”

Kapolres menghimbau, kepada masyarakat yang mendapati oknum yang dicurigai mendagangkan maupun menggunakan antik diharapkan dapat dilaporkan ke Polisi. “Kita harus selamatkan warga kita dari ancaman dan bahaya dari Narkotika atau penyalahgunaan narkotika. Karena saat ini banyak yang dijual secara resmi seperti di Apotik-apotik dan tempat lainnya,” harapnya. (Musa Abubar)

Rabu, 08 Desember 2010

Filep Karma Terus Mogok Makan

JUBI --- Filep Karma, Tahanan Politik Papua (Tapol), mengaku akan terus melakukan aksi mogok makan dan minum hingga dipindahkan kembali ke Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Abepura, Kota Jayapura, Papua.

“Saya akan terus lakukan aksi mogok makan sampai dikembalikan ke Polda Papua,” ujar Karma saat dikunjungi JUBI di rutan Polda Papua, Rabu (8/12). Karma mengaku, kecewa dengan perlakuan LP yang menuding dirinya dan Buchtar sebagai dalang kericuhan di LP, Jumat (3/12) sore.

Menurtunya, seharusnya pihak LP tidak bertindak demikian. Mereka juga harus bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan. “Harusnya tidak ada tindakan seperti ini terhadap kami,” tandasnya.

Dari pantauan JUBI, walaupun Karma mogok makan dan minum namun dirinya tetap sehat. Senyum lebar dan canda tawa tetap masih ada dalam dirinya ketika disapa ditempat kunjungan Polda Papua.

Sebelumnya, kepala Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM, Nazarudin Bunas menyatakan, Karma dan Tabuni dipindahkan ke rutan Polda Papua karena mereka otak dibalik kericuhan tersebut. Dengan demikian pantas dipindahkan dan ditahan sementara di Polda.

Kepala Lembaga Pemasyarakatan Abepura menyatakan, dirinya tak mengetahui soal pemindahan Buchtar Tabuni dan Filep Karma. “Saya tidak tau soal pemindahan mereka ke sana,” ujarnya kepada JUBI saat dikonfirmasi. (Musa Abubar)

Pemerintah Diminta Buka Akses Pelanggaran HAM

JUBI --- Sudah berkali-kali orang Papua memintah Pemerintah Indonesia untuk mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) Papua. Namun hasilnya selalu buntu.

"Sejak rezim soeharto berkuasa, sampai pemerintah SBY (Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono), kami selau minta agar diselesaikan sesuai jalur hukum, namun tak satu pun yang tidak memuaskan,” ujar Tokoh Masyarakat Adat Wilayah Teluk Cenderawasih-Mamberamo, Wilson Uruwaya, di Mimika, rabu (8/12).

Wilson dan rekan-rekannya dari tokoh adat serta kelompok pemuda-pemudi di teluk Cenderawasih, meminta supaya pemerintah segera membuka akses penyelesaian kasus-kasus HAM berat di tanah Papua. ”Tidak hanya Komnas HAM atau pemerintah daerah saja dan aparat yang bisa mengusut kasus-kasus HAM di Papua.

Dia berharap supaya pekerja-pekerja HAM internasional juga masuk ke Papua untuk mengusut perbedaan-perbedaan penyelesaian kasus yang terjadi selama ini. "Masalah HAM Berat yang tak pernah tuntas di Papua, bukannya semakin jelas," nilainya.

Uruwaya menyesalkan jika terjadi penembakan sana-sini dengan tundingan atau bahasa pelaku tak dikenal atau orang tak dikenal macam ini bikin kabur situasi Papua. Herannya lagi, katanya, hingga kini orang yang bertindak atau bekerja untuk HAM di Papua, malah diteror, diintimidasi bahkan diseret ke
penjara dengan berbagai manipulasi data dan bukti skenario cantik.

”seharusnya siapa yang bekerja, baik dari pihak pemerintah maupun lembaga swasta seharusnya bekerja jujur, adil tanpa memihak pada kepentingan tipu muslihat,” ujarnya.

Menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Papua, bukan tindakan melanggar aturan kewajiban sebuah perusahaan atau institusi tertentu. Selebihnya, ia mengatakan pelanggaran HAM terutama kasus-kasus kekerasan dan penyiksaan warga sipil yang dilakukan oleh aparata TNI/POLRI secara terang-terangan di Papua merupakan tindakan HAM berat yang sadis.

”Penyiksaan dan pembunuhan sangat jelas-jelas di depan mata, sebagaimana semua orang tau melalui video yang beredar kemana-mana. Tapi itu saja pemerintah Indonesia anggap enteng,” tandasnya. (Willem Bobi)

Sambut Hari HAM, BEM Uncen Akan Aksi Damai

JUBI --- Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Universitas Cenderawasih Jayapura, akan menggelar aksi damai dalam rangka memperingati Hari Aksasi Manusia sedunia pada tanggal 10 Desember mendatang.

Ketua Bidang Humas Badan Eksekutif Mahasiswa, Benyamin Gurik, mengatakan aksi damai yang akan digelar 10 Desember menyikapi tindakan aparat keamanan yang bersikap represif terhadap masyarakat sipil di Papua. “Aksi tersebut bertujuan damai sekaligus merefleksikan kinerja TNI dan POLRI yang bersikap keras terhadap masyarakat sipil di Papua,” ujarnya, di Jayapura, Rabu (8/12).

Menurutnya, pola pendekatan keamanan di Papua seharusnya perlu diorganisir kembali agar tidak terkesan pola lama dalam menyelesaikan konflik dan masalah di tanah Papua. “Sekarang sudah zaman reformasi, karena itu pola lama menyelesaikan konflik di tanah Papua seharusnya dihentikan,” jelasnya.

Dijelaskan, pemerintah sebaiknya melakukan dalam menyelesaikan setiap permasalahan di Papua. “Pendekatan ini tdak boleh diabaikan pemerintah karena ini satu-satunya alternatif yang harus dijalankan dalam mengakhiri persoalan yang belum terselesaikan,” ujarnya.

Aksi damai yang akan digelar 10 Desember mendatang menekankan empat hal pokok yang perlu diselesaikan pemerintah Indonesia. Pertama, menghentikan stigmatisasi separatis dan OPM bagi aktivis Papua, masyarakat pribumi Papua, dan LSM yang ada di seluruh Papua. Kedua, segera tarik mundur pasukan militer baik organik maupun non organik di Papua.

Ketiga, segera buka ruang dialog yang bermartabat, independen, jujur dan adil antara rakyat pribumi dengan pemerintah Indonesia yang difasilitasi pihak ketiga guna membicarakan dan menyelesaikan konflik berkepanjangan sehingga merenggut ribuan nyawa masyarakat sipil di Papua.

Keempat, hentikan pendekatan militer dan kekerasan dalam menyelesaikan konfllik di Papua karena kekerasan dan pembunuhan terhadap manusia adalah kejahatan kemanusiaan yang amat besar.

Benyamin mengatakan keempat aspirasi damai tersebut sebagai wujud kepedulian Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Cenderawasih menyikapi berbagai tindakan kekerasan militer, operasi militerdan berbagai kejahatan lain yang mengancam hak hidup, hak berorganisasi masyarakat pribumi. (Karolus)

Mobil Terkena Tembakan Diperiksa

JUBI --- Yoseph Kakerisa yang adalah sopir mobil Pick Up yang diduga ditembak di Kali Doi-Sermayam pada Minggu (5/12), telah dipanggil oleh Polres Merauke guna dimintai keterangan sebagai korban.

Pemeriksaan terhadap bersangkutan setelah membeberkan secara kronologis kasus penembakan kaca mobil di media serta isi mobil pick up tersebut, langsung dibawa ke bengkel guna dibongkar untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut sekaligus memastikan jangan sampai ada proyektil.

Setelah kurang lebih stengah jam kaca nako diturunkan bersama jok, langsung dilakukan pemeriksaan oleh Tim Identifikasi Polres Merauke.

Hanya saja setelah diperiksa, tidak ditemukan adanya proyektil di dalam mobil. “Kita akan laporkan hasilnya kepada Kapolres Merauke, Djoko Prihadi untuk mendapat petunjuk lebih lanjut lagi. Apakah harus ke TKP atau tidak,” kata salah seorang penyidik.

Sementara Kapolres Merauke, Djoko Prihad, mengungkapkan bahwa pihaknya belum bisa memastikan apakah itu penembakan atau tidak. Karena harus dilakukan pemeriksaan saksi-saksi dan juga olah TKP terlebih dahulu. Polisi tidak bisa dengan serta merta mengatakan bahwa itu adalah penembakan. “Kita harus dalami lagi,” tegasnya. (ans)

Selasa, 07 Desember 2010

Video Kekerasan dan Penyiksaan Warga Sipil Jilid II, Dibeberkan

JAYAPURA—Setelah kasus kekerasan dan penyiksaan warga sipil di Puncak Jaya disidangkan di Pengadilan Militer Jayapura, kini giliran kasus kekerasan dan penyiksaan jilid II yang kabarnya lebih sadis lagi diungkap. 

Hal ini terungkap saat pertemuan Komnas HAM Jakarta dan Komnas HAM Perwakilan Papua dengan Pangdam XVII/Cenderawasih, Senin (6/12) di Makodam XVII/Cenderawasih.  Dalam pertemuan itu, sebagaimana diungkapkan  Wakil Ketua Perwakilan Komnas HAM Papua, Mathius Murib SH,  bahwa Komnas HAM  memperlihatkan data kekerasan dan penyiksaan warga sipil  jilid II yang diduga dilakukan anggota TNI terhadap warga sipil di Puncak Jaya. 

Data itu menunjukkan sejumlah dokumen berupa rekaman video, data serta hasil pemantauan di lapangan, termasuk wawancara dengan pihak korban menyangkut kekerasan dan penyiksaan  terhadap 2 orang warga sipil, masing masing Anggenpugu Kiwo dan Telangga Gire di Kabupaten Puncak Jaya, pada 18 Maret 2010.  Kekerasan dan penyiksaan II ini, ternyata lebih sadis, brutal dan tak berprikemanusiaan daripada video kekerasan dan penyiksaan terhadap warga pada 17 Maret 2010.

“Video kekerasan dan penyiksaan terhadap 2 orang warga tersebut berdurasi 7 menit  terjadi pada 18 Maret 2010 atau sehari setelah video kekerasan dan penyiksaan yang pertama. Kedua korban bahkan dibakar alat vitalnya serta lehernya disangkur,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua Mathius Murib ketika dikonfirmasi Bintang Papua di Jayapura, Selasa (7/12) usai melakukan  pertemuan bersama antara Pangdam XVII/Cenderawasih bersama Tim Komnas HAM Jakarta dan Komnas HAM Perwakilan Papua di Makodam XVII/Cenderawasih, Jayapura, Senin (6/12).

Tim Komnas HAM Jakarta dan Komnas HAM Papua yang lain pada saat yang bersamaan bertemu Wakapolda Papua Brigjen (Pol) Drs Arie Sulistyo di Mapolda Papua, Jayapura.Ironisnya, lanjutnya, pelaku  kekerasan dan penyiksaan terhadap warga sipil di Puncak Jaya sebelumnya telah disidangkan dan diputuskan Pengadilan Militer Jayapura. Tapi video kekerasan dan penyiksaan yang kedua yang justru lebih sadis, brutal dan tak manusiawi ini belum disentuh hukum militer. 

Untuk keperluan penyidikan, lanjutnya, pihaknya telah menyerahkan video kekerasan dan penyiksaan terhadap dua warga sipil tersebut kepada Pangdam XVII/Cenderawasih Brigjen TNI Erfi Triassunu merasa kaget ketika Tim Komnas HAM Jakarta dan Komnas HAM Perwakilan Papua menyodorkan bukti bukti  menyangkut video kekerasan dan penyiksaan jilid II yang diduga dilakukan TNI terhadap dua orang warga sipil di Puncak Jaya.

Karena itu, tambahnya, pihaknya telah menyampaikan supaya kasus tersebut diproses hukum. Namun demikian, Pangdam berjanji bila terbukti, maka ia akan memproses anggotanya yang terlibat. Dia mengatakan, pihaknya juga menyampaikan kepada Pangdam dan Kapolda bahwa dari rangkaian peristiwa penyiksaan yang ada di Puncak Jaya sejak 2004 sampai 2010 baru satu kasus yang diproses, yakni kekerasan dan penyiksaan terhadap sejumlah warga sipil di Kabupaten Puncak Jaya. Menurutnya, Pangdam juga sepakat sebenarnya perbuatan anggotanya di lapangan tak sesuai dengan fungsi dan tugas TNI dan tak sesuai prosedur tetap yang dipakai di lapangan itu. Karena itu ia setuju dengan proses hukum terhadap aparat TNI yang terlibat. Dikatakan, 2 orang korban kekerasan dan penyiksaan hingga kini masih menjalankan aktivitasnya di Kabupaten Puncak Jaya, tapi keduanya menderita tuli. (mdc/don/03)

Kontras Pertanyakan Penyelesaian Kasus HAM Di Papua



JUBI --- Hingga kini penuntasan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) tidak kunjung usai, sehingga hal ini menjadi sorotan Kontras Indonesia dengan mempertanyakan sejauh mana komitmen negara terhadap penyelesaian masalah Papua.

"Dalam menyikapi situasi Papua saat ini, pihaknya berupaya mendorong tiga hal ke Pemerintah Pusat untuk menyelesaikan masalah Papua," ujar Sekretaris Jenderal Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Jakarta, Oslan Purba, kepada JUBI di Jayapura, Selasa (7/12).

Dia menjelaskan, pihaknya akan melakukan tigal hal, yakni monitoring dan pendataan melalui KontraS Papua. kedua yaitu mendorong pemerintah Jakarta agar melakukan dialog panjang yang dibangun untuk membangun suatu kesepakatan penyelesaian masalah di wilayah paling timur ini.

"Dan kegita, meminta kejelasan dari pemerintah Jakarta terkait tertutupnya wartawan dan pihak luar untuk mendapatkan akses dan informasi mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.

Purba menegaskan, dialog yang kami lakukan tidak hanya dalam waktu singkat dan terjadi sekali saja tapi dialog ini dapat berlangsung terus menerus ditingkat pusat untuk membicarakan persoalan Papua.
"Selain itu, pihaknya juga sementara memonitoring penahanan lima orang narapidana dan tahanan yang sementara ditahan polisi di Polda Papua. Termasuk didalamnya aksi mogok makan yang kini dilakukan oleh Filep Karma, tahanan politik Papua (Tapol)," ungkapnya.

Rentetan sejumlah kasus yang kini memanas di Papua berawal dari penembakan oleh Orang Tak di Kenal (OTK) terhadap warga yang melakukan perjalanan menuju kampung Koya, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Minggu (28/11). Dalam insiden itu, tiga warga tertembak. Satu diantaranya tewas tertembak.

Dari kejadian itu, aparat keamanan mengambil langkah untuk melakukan penyisiran disekitar lokasi Abe gunung dan BTN Puskopad Abepura. Dalam penyisiran itu, Polisi/TNI menembak mati seorang warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Abepura, Miron Wetipo yang kabarnya melakukan perlawanan terhadap aparat keamanan, Jumat (3/12) pekan lalu. (Musa Abubar)

TNI/POLRI Dinilai Bermain Skenario Di Papua

JUBI --- Dewan Adat Wilayah Teluk Cenderawasih-Mamberamo, Papua,  menilai aparat keamanan TNI maupun Polri masih bermain membungkam sejumlah pelanggaran hak  azasi manusia di Papua.

”Kasus- kasus penembakan dengan tuduhan kepada TPN/OPM ini semua mirip dengan skenario yang sering terjadi sebelumnya. Yaitu aparat TNI/POLRI sendiri bermain menuding warga papua dan organisasi papua merdeka (OPM)),” ujar Tokoh Adat Wilson Uruwaya, perwakilan Dewan Adat Wilayah Teluk Cenderawasih, di Mimika, Selasa (7/12)

Skenario itu, kata dia, hampir terjadi di seluruh tanah Papua, sehingga rakyat di pihak yang lemah tak berani bersuara, meneriakkan kebenaran. ”Iya, rakyat takut bersuara karena nanti dibilang melawan pemerintah, seperti kasus penembakan warga sipil di Nafri Jayapura beberapa waktu lalu," nilainya.

Menurutnya, tak masuk akal bila itu dituding kepada TPN/OPM. ”Dokumen rencana serangan dan peta seperti tidak mungkin. Ditemukan pun sangat tidak masuk akal,” cetusnya.

Dari sejumlah informasi yang dikumpulkan JUBI, aksi tudingan TNI/.POLRI kepada TPN/OPM sebagai pelaku penembakan itu berkaitan dengan isu internasional tentang pelanggaran HAM yang kini mencuat ke permukaan dunia internasional. ”Permainan ini dilakukan oleh OPM Piaraan Indonesia untuk menutup kasus pelanggaran HAM yang sedang hangat di luar negeri,” terang, salah satu dewan adat lainnya yang dihubungi JUBI.

Kata sumber dewan adat, skenario lain sebagai permainan TNI/POLRI juga jelas terjadi kepada sebby sambon, beberapa hari kemarin. Ketika Sebby di kantor  Kejaksaan Negeri Jayapura, sebby di interogasi di ruang kasi PIDUS, sementara tas ransel dan tas leptop ditahan di ruang terpisa.

”setelah diinterogasi, sebby sampai di LP Narkoba Doyo (Sentani-Jayapura), petugas LP dan Intel Polda Periksa semua tas. Saat diperiksa ditemukan bendera Bintang Kejora dalam tas leptop. Padahal Sebby tidak bawah apa-apa, selain laptop,” jelasnya. Sebby sempat menolak bukti polisi tentang bintang Kejora yang didapati dalam tasnya.

Namun aparat TNI/POLRI tetap menjadikan bukti Bintang Kejora yang tak tau asal-usulnya sebagai bukti untuk diseret ke tahanan penjarta selama 2 tahun. ”ini laporan terakhir yang kami terima bahwa aparat TNI/POLRI juga bermain untuk menghukum sebby dan warga sipil lainnya di Papua,” tandasnya.

Hingga kini lapisan tokoh masyarakat adat berpendapat: pertama: Tudingan aksio TPN/OPM itu dimungkinkan berasal dari OPM Piaraan TNI/Polri dalam rangka menekan peringatan 1 desember kemarin. Kedua: Kasus Pelanggaran HAM oleh aparat TNI/POLRI cukup berat di Papua. Sehingga aksi OPM piaraan itu menjadi bahan tandingan di muka Internasional. (Willem Bobi)

Negara Belum Menjamin Keamanan Warga Papua

Harry Maturbongs
JUBI --- Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Papua,Harry Maturbongs, menilai bahwa negara belum menjamin kemanan dan kenyamanan warga Papua.

“Sebenarnya Negara harus melindungi warganya sesuai dengan amanat undang-udang dasar,” ujar Maturbongs kepada wartawan, Selasa (7/12) di Abepura. Menurutnya, hingga kini Negara tidak pernah mengakui kekerasan dan pelanggarannya yang dibuatnya terhadap rakyat khususnya warga Papua.

Buktinya, lanjut dia, penembakan masih terjadi dimana-mana tapi juga disertai dengan penyiran aparat keamanan. Kasus pelanggaran HAM juga terus bertambah tanpa ada upaya penyelesaian. Bagi dia, kondisi tersebut membuat masyarakat semakin panik dan takut. Sementara itu, sekretaris jenderal federasi KontraS Jakarta, Oslan Purba, menyatakan pihaknya kuatir dengan sejumlah kasus yang sementara ini melanda Papua. "Sebab itu, Kontras Jakarta menugaskan KontraS Papua untuk memonitoring sekaligus mendata sejumlah kasus yang sementara terjadi," ungkapnya.
Dia menambahkan, termasuk didalamnya penahanan Buctar Tabuni dan Filep Karma dan tiga rekannya di polda Papua. “Kami sementara tugaskan Kontras Papua untuk lakukan pendataan terhadap kasus yang sementara sedang terjadi, dari data itu akan digunakan untuk mendesak pemerintah pusat.”  jelasnya.
Dia berharap kiranya pemerintah bisa melakukan pendekatan dan kebijakan yang baik dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di tanah Papua. Juga meminta Pemerintah Indonesia melakukan dialog penyelesaian masalah Papua," ucapnya. (Musa Abubar)

DPR Papua : Polisi Tidak Profesional

Ruben Magai
JUBI --- Dewan Perwakilan Rakyat Papua menilai penembakan terhadap seorang narapidana Lembaga Pemasyaratan Klas II A Abepura, Miron Wetipo menandakan polisi tidak profesional dalam menjalankan tugasnya dilapangan.

Demikian disampaikan ketua Komisi A DPR Papua, Magai saat dikonfirmasi JUBI, Selasa (7/12) siang. Menurutnya, seharusnya polisi tidak langsung mengambil tindakan tembak ditempat terhadap warga. Tindakan tersebut langgar aturan yang berlaku.

“Bagi saya polisi jangan langsung main tembak  ditempat. Itu manusia yang punya harga diri dan patut dihormati, dijaga dan lindungi. Miron Wetipo kan bukan pelaku penembakan Nafri jadi jangan langsung ditembak ditempat.”

Lanjut Magai, tindakan penembakan yang dilakukan aparat keamanan tak bisa menyelesaikan persoalan Papua. Sebaliknya, mempersulit penyelesaian masalah. Tak hanya itu, tindakan ini melanggar prosedur. Kondisi ini membuat mengakibatkan Negara tidak aman dan terus dituntut rakyat.

Dia menambahkan, kedepan DPRP akan berpikir untuk membentuk pansus khusus yang membahas soal pelanggaran HAM. Pansus ini dapat membahas sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sampai saat ini.

Sebelumnya Kapolresta Jayapura, AKBP Imam Setiawan menuturkan, Miron ditembak karena melakukan perlawanan bersama empat orang rekannya terhadap aparat tim gabungan Polisi/TNI dan densus 88 Polda Papua.
Saat itu tim gabungan tesebut melakukan penyisiran disalah satu rumah milik warga di kawasan BTN Puskopad, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua, Jumat (3/12) pekan lalu.
Kejadian ini menyebabkan narapidana dan tahanan mengamuk dan merusak fasilitas kantor LP Abepura. Akibatnya, lima orang tahanan dan narapidana ditangkap dan ditahan polisi di Polda Papua. Hingga kini mereka masih mendekam dibalik jeuruji besi Polda Papua. (Musa Abubar)