Sabtu, 11 Desember 2010

SKP Timika Peringatkan Kasus Tingginambut

JUBI --- Jika Pemerintah Indonesia beritikad baik dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) di Papua, seharusnya aparat Militer Indonesia bekerja tidak setengah-setengah menuntaskan kasus HAM.

Demikian disampaikan Ketua Sekretariat Keadilan Perdamaian (SKP) Keuskupan Timika, Saul Wanimbo di kediamannya Timika, sabtu (11/12). ”Kelima pelaku yang terbukti serta diadili dan disanksi administrasi, seharusnya diseret ke pengadilan HAM selayakanya pelaku pelanggar HAM berat,” paparnya, sabtu.

Situasi pelanggaran serta tindaklanjut menuntaskan HAM di Papua, kata Wanimbo telah meninggalkan jejak-jejak buruk bagi kredibilitas aparat TNI/POLRI di Papua. Sehingga Ia menilai proses peradilan terhadap pelaku bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk warga sipil. ”Kepercayaan terhadap aparat TNI maupun Polri sudah hampir tidak ada. Komunitas sipil papua bersama komnas HAM dan Komda HAM Papua ambil langkah sesegera mungkin,” ucapnya.

Terkait dengan kasus-kasus HAM di Papua, SKP Timika mengemukan sejumlah pokok permasalahan sehingga kasus-kasus HAM di papua. Katanya Polisi dan tentara tidak pernah memuaskan pihak korban maupun warga sipil. Bahkan terus melakukan pelanggaran HAM di Papua dari tahun ke tahun.

SKP Timika mengemukan sejumlah alasan lemahnya penegakkan HAM di Papua. Pertama: Selama ini pihak Militer Indonesia melihat kasus pelanggaran HAM di Papua sebagai pelanggaran biasa. Ia mencontohkan tindaklanjut pelanggaran HAM yang diselesaikan secara intern dalam institusi aparat TNI maupun Polri. Kedua: Kasus Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, seolah-olah dipandang oleh aparat TNI/POLRI sebagai pelanggaranb aturan militer. ”Padahal ini kasus-kasus pelanggaran HAM
berat di tanah papua,” jelasnya.

Ketiga: Belum ada desakan dari komunitas-komunitas sipil rakyat papua,untuk memproses pelaku ke tingkat peradilan HAM. ”jadi para pelaku di Tingginambut maupun di mana saja, harus diadili di pengadilan HAM selain ada sanksi organisasi atau intitusi asal,” paparnya.

Kata rohaniwan Katolik Keuskupan Timika itu, langkah demikian penting dilakukan untuk menertibkan anggota militer yang bertindak semena-mena di tingkat lapangan. ”kalau atasan aparat militer tegas menindak anakbuahnya, maka kewaspadaan untuk tidak berbuat pelanggaran (HAM) pasti akan timbul. Tapi sayangnya para pelaku dibiarkan begitu saja dengan cara memberikan sanksi intern. Ini tidak sesuai dengan aturan kemanusiaan,” ujarnya. Setiap personil militer harus ditindak sesuai
jalur peradilan HAM.

SKP Timika juga mempertanyakan membandingkan penyelesaikan kasus Tingginambut tahun 2010 dengan kasus lainnya kejahatan dan pelanggaran HAM lainnya di Papua. ”Peristiwa rekaman Video di Tingginambut ini muncul dan dituntaskan dalam kurung waktu 2 minggu, sebelum kunjungan Presiden Obama ke Indonesia,” imbuhnya.

Bila dibandingkan dengan kasus HAM lain di Papua, masih banyak kasus HAM yang belum dituntaskan sampai sekarang. Seperti kasus Wasior tahun 2004, Opinus Tabuni Tahun 2007 dan lainnya. ”Jadi seolah-olah sebelum kunjungan presiden Obama (Presiden AS) ke Indonesia, aparat Militer ini terkesan bekerja mencapai peradilan militer untuk memperbaiki citra militer Indonesia di mata Amerika Serikat,” nilainya.

Ia menerangkan tujuan peradilan militer di Indonesia bukan bertujuan mengadili pelaku dan berkeinginan menegakkan HAM di Papua. Senyata-nyata, SKP berpendapat, TNI/POLRI di Papua telah bekerja memihak pihak tertentu. Ketimbang menegakkan HAM secara jujur dan adil secara independent.

Katanya realita tersebut berbeda dengan misi HAM yang kini diemban oleh negara berlambang Pancasila. ”padahal sesuai dasar hukum negara Republik Indonesia mestinya menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, termasuk menciptakan berkehidupan berbangsa dan bernegara yang bebas,” tuturnya. (Willem Bobi)