Senin, 30 Juli 2012

Indonesia Sulit Pulihkan Kepercayaan Orang Papua

Aspirasi Rakyat Papua tak ada ujung (Ist)
JAKARTA, RIMANEWS - Pemerintah perlu memulihkan kepercayaan warga asli Papua kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah berkepanjangan di Papua. Pendekatan keamanan dinilai tidak akan mampu menyelesaikan masalah di Papua.
"Kepercayaan masyarakat perlu ditumbuhkan," kata Asvi Warman Adam Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat diskusi di Gedung Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (15/6/2012).Asvi mengatakan, pemerintah perlu memperhatikan belum sepenuhnya warga asli Papua yang menerima Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) tahun 1969 . Sebagian warga Papua, kata dia, menilai Perpera tidak adil karena penentuan hanya diwakili oleh tokoh suku.
Selain itu, kata dia, masih tertanamnya di ingatan warga asli Papua terkait kelamnya masa lalu ketika kekerasan oleh aparat keamanan yang berlangsung bertahun-tahun. Memori kelam itu, lanjutnya, harus dihapus dengan membuka kembali dan menyelesaikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang pernah terjadi di Papua."Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) juga perlu dibentuk di Papua," kata Asvi.
Adriana Elisabeth yang tergabung dalam tim LIPI penyusun buku Papua Road Map mengatakan, sebenarnya pemerintah sudah berbuat banyak untuk Papua selama ini. Namun, pembangunan yang dilakukan selama ini lebih kepada pembangunan fisik sehingga tidak menyentuh akar masalah.
Adriana menjelaskan, hingga saat ini masih adanya paradigma diskriminatif terhadap warga asli Papua seperti penilaian Papua primitif. Akibatnya, tidak ada kepercayaan dari warga asli Papua kepada pemerintah.
Warga asli Papua, lanjut dia, juga merasa terasing dan tidak bangga menjadi warga Indonesia lantaran tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik.Dikatakan Adriana, pemerintah perlu mengakui secara terbuka segala kesalahan pemerintah sekarang maupun masa lalu terkait pelanggaran HAM maupun perlakuan diskriminasi di Papua. Langkah terpenting, kata dia, membuka ruang dialog agar semua pihak terkait bisa berbicara terbuka. [kps]

Papua Akan Berujung Pada Referendum

Mantan Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi. (Ist)
JAKARTA, RIMANEWS - Di penghujung 2011 ternyata cukup banyak pekerjaan rumah pemerintah yang belum terselesaikan. Salah satunya adalah soal konflik di Papua.
Jika tidak ada niat serius dari pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik di daerah tersebut, bukan tidak mungkin gerakan masyarakat di Papua bisa berujung pada permintaan referendum.
"Kalau yang mengurus saja tidak membereskan masalah Papua ini, lama kelamaan ini akan semakin rusak karena gerakan itu adalah bagian dari sisa perang dingin. Sehingga kalau ditindak katanya melanggar HAM, tapi kalau tidak ditindak bukan tidak mungkin akan ada referendum," kata mantan Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi.
Hal itu dikatakan Hasyim di acara refleksi akhir tahun di Gedung PP Muhammadiyah, Jl Cikini, Jakarta Pusat, Senin (19/12/2011).
Saat ini, pemerintah sudah membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) untuk mencari dan menyelesaikan berbagai permasalahan di Papua. Namun, Hasyim menilai jika hanya tim ini saja yang bekerja tentu tidak cukup membantu.Menurutnya, perlu ada gabungan masyarakat sipil (civil society) yang bersama-sama bekerja membangun Papua yang samai sejahtera. "Oh bukan, tim ini tetap jalan, tapi partisipasi civil society itu harus ditegakkan," katanya
Civil society yang dimaksud bisa berasal dari ormas dan orpol kemudian legislatif dan yudikatif. Selain itu Hasyim juga berharap MPR bisa memanggil presiden dan memastikan bahwa negara ini tdk boleh dilepaskan."Papua jangan dianggap enteng, karena diam-diam dia bisa referendum," pesa Hasyim yang mengenakan baju koko putih.
Hasyim memperingatkan pemerintah, masalah Papua ini adalah masalah kritis dan peluang daerah tersebut melakukan referendum sangat besar. Oleh karena itu pemerintah harus serius menyelesaikan masalah Papua.
"Iya (arahanya referendum) karena ini sudah kritis. Sebentar lagi referendum dan jika sudah diakui lebih dari 100 negara secara mendadak, maka Inonesia tinggal kebingungan," pesannya.(yus/dtk)

Indonesia Tak pernah Sentuh Kesejahteraan Warga Papua

Perwakilan Papua ketiak temui Indonesia. (Ist)
JAKARTA, RIMANEWS - Pertemuan tokoh-tokoh  Papua dari Serui/Yapen Barat, Sorong, Membramo, Biak, Wasior dengan tokoh nasional Dr.. Rizal Ramli (mantan menko perekonomian)  di Jakarta hari Senin ( 31 Oktober 2011)   membahas perkembangan terakhir di Papua. 
Tokoh2 tersebut menyampaikan keprihatinan mereka terhadap peningkatakn kekerasan di Papua., Para tokoh komunitas Papua itu amat sedih dan mencurahkan kepedihannya kepada  Rizal Ramli sebagai tokoh populis yang perduli dan komit bagi warga Papua dan seluruh rakyat kita. Meski ia dijauhi oleh pihak elite tertentu karena kekritisannya.Mereka mencermati pandangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI Komisi I, Paskalis Kosay yang menyatakan selama ini kebijakan dan program pemerintah tak sampai kepada rakyat Papua.
Ia menyatakan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) boleh saja menyatakan Papua selalu ada di hatinya. Namun, Presiden tak mengetahui bahwa, semua program termasuk kebijakan yang sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Khusus di Papua tidak dirasakan semua warga."Kebijakan beliau (Presiden RI) sangat konsisten dengan Undang-Undang Otonomi Khusus. Tapi terus terang implementasi kebijakan negara dan presiden tidak maksimal di implementasikan di lapangan. Masyarakat di daerah-daerah terpencil mana merasakan itu?" ujar Paskalis dalam diskusi "Papua, Konflik Tak Kunjung Usai" di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (29/10 /2011).
Ia mengaku tak tahu, siapa yang harus disalahkan hingga bantuan dan program pemerintah tak bisa dirasakan rakyat Papua. Dikatakannya, pemerintah daerah dan pusat kurang berkoordinasi untuk mensejahterakan masyarakat Papua."Saya tidak tahu ini sebenarnya kesalahan siapa, di daerah atau pusat. Aparat daerah jalan dengan pemahamannya sendiri. Sementara Pemerintah pusat juga tidak mau tahu kondisi di daerah," jelasnya.
"Akibat dari itu kebijakan dan program mulus apa pun yang diinginkan Presiden kita belum tentu dalam realitanya begitu. Di lapangan ada gejolak sana sini," sambungnya.Menjawab pertanyaan itu, Staf Khusus Presiden untuk Otonomi Daerah, Velix Wanggai mengungkapkan Presiden SBY selama ini selalu mengedepankan pendekatan terhadap masyarakat Papua dengan meningkatkan kesejahteraan.Oleh karena itu, lanjut Velix, Pemerintah hingga hari ini, tuturnya, masih terus mengusahakan untuk menyejahterakan masyarakat Papua."Presiden dan pemerintah tidak tutup mata. Sejak 2006 Pak SBY ke Merauke, dan ke tempat-tempat lain di Papua. memang ada simpul-simpul yang belum efektif tapi tidak semua lapisan. Ini akan dijadikan evaluasi," ujar Velix.
Menurutnya Presiden ingin agar kesejahteraan Papua bukan hanya untuk warga di perkotaan, tapi juga di wilayah terpencil yang susah dijangkau selama ini."Di mata Presiden, pendekatan kesejahteraan, jadi pilihan. Tidak hanya di kota, tapi juga di kampung-kampung Sehingga pembangunan di perkampungan juga lebih maju," tutupnya.  [mam/kps]

'Konflik Papua Akibat Pemerintahan Tidak Bersih'

Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subiant. (Ist)
JAKARTA, RIMANEWS - Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto mengatakan bahwa konflik yang terjadi di Papua terjadi lantaran pemerintahan yang tidak bersih.
"Kalau pemerintahan itu bersih dan efektif, saya kira Papua maupun Provinsi di Indonesia lainnya tidak ada masalah," ujar Prabowo kepada wartawan usai menghadiri Sarasehan Nasional bertajuk 'Bung Karno di Mata Dunia' yang digelar di hotel Four Seasons, Jakarta Selatan, Rabu (27/6/2012).
Prabowo menegaskan, dengan tidak efektifnya pemerintahan ini justru memudahkan rakyat dapat terhasut dengan oknum-oknum yang memiliki kepentingan terselubung.Prabowo pun mengkritisi anggaran yang dianggarkan khusus untuk Papua. Menurut Prabowo, anggaran dari pemerintah pusat untuk Papua tidak sampai ke tangan masyarakat Papua."Saya kira banyak dana itu tidak sampai ke masyarakat Papua," kata Prabowo.Untuk itu, Prabowo meminta kepada pemerintah untuk menjalankan pemerintahan yang bersih dan efektif, sehingga bisa memberikan jasa-jasa kepada masyarakat dan membangun Papua lebih baik kedepannya.(yus/trbn)

ICW Nilai Pemerintah Gagal Total Atasi Konflik Papua

Warga Papua dibalik Militer Indonesia. (Ist)
JAKARTA, RIMANEWS - Maraknya konflik dan aksi kekerasan yang terjadi di Papua kian meresahkan masyarakat . 
Rasa aman seakan menjadi barang langka bagi warga Papua,  terutama mereka yang kerap beraktivitas di luar rumah.Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane menilai, pemerintah telah gagal total dalam menyelesaikan konflik Papua yang terus berkepanjangan."Pemerintah memang gagal dan tidak serius menyikapi soal Papua.," ujar Neta, Minggu (17/6/2012).
Menurutnya, hal itu nampak jelas dari fakta-fakta yang ada bahwa sumber daya alam di Papua dikeruk dan dibawa keluar Papua setiap saat, sedangkan di sisi lain rakyat Papua tetap terbelenggu dalam kemiskinan dan kebodohan.
"Pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Papua lebih memanjakan investor, terutama asing, ketimbang penduduk asli Papua. Di sisi lain sebagian putera-putera daerah yang mendapat kesempatan duduk di posisi elit lebih berorientasi pada kepentingan diri sendiri dan kelompoknya," terang Neta.Neta menambahkan, sudah saatnya pemerintah bersunggguh-sungguh dalam memperhatikan nasib rakyat Papua, yang terkesan telah lama di 'anak tiri' kan selama ini."Akibatnya sebagian besar rakyat Papua seperti terjajah di negeri sendiri. Sudah 67 tahun Indonesia merdeka tapi rakyat Papua masih tetap dibelenggu ketidakadilan," tutupnya.(yus/okz)

Minggu, 29 Juli 2012

Filep Karma : "Saya bukan Warga Negara Indonesia tetapi Warga Negara Papua Barat"

Filep Karma Saat Bersaksi PN Jayapura (photo jubi)
Jayapura (26/7)--- Filep Karma, Tahanan Politik (Tapol) Papua menolak disumpah saat dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan Buchtar Tabuni (BT) di Pengadilan Negeri (PN) Klas IIA Abepura, Jayapura - Papua.
Karma menolak disumpah berdasarkan Matius 5:36-37. Persidangan Buchtar Tabuni terkait pengrusakan Lapas Abepura Tahun 2010 lalu oleh narapidana itu menghadirkan satu-satunya saksi pada hari ini adalah Filep Karma. Persidangan dimulai pada Pkl. 12.00 WIT dan berakhir pada Pkl.12.25 WIT.

“Saya bukan Warga Negara Indonesia tetapi Warga Negara Papua Barat,” demikian kata Filep Karma dalam persidangan ini. Karma juga menolak diambil sumpah berdasarkan Matius 5:36-37. Karma yang mengaku tidak beragama tetapi Murid Kristus ini juga berdebat kurang lebih 20 menit dengan Hakim Ketua, Haris Munandar terkait sumpah tersebut dan juga tentang identitasnya sebagai saksi.

Menurut Hakim Ketua, bila tidak ada sumpah maka tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Sumpah harus diambil dari saksi berdasarkan aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia.

“Untuk apa saya diambil sumpah? Di dalam Matius 5 ayat 36 bilang, Janganlah engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambutpun dan ayat 37 bilang, Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat,” demikian kata Karma di dalam persidangan.

Tidak mau bertele-tele, Hakim Ketua kemudian meminta pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk dapat memastikan apakah Karma akan digunakan sebagai saksi dalam persidangan BT. JPU dengan tegas menyatakan bahwa Karma tidak akan dipakai dalam persidangan Buchtar Tabuni. (JUBI/Aprila Wayar)

Rabu, 25 Juli 2012

Presiden RI, SBY Bikin Kabur Papua

Presiden RI, SBY.

Sampai dunia kiamatpun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak bisa menyelesaikan masalah Papua. Hal itu bisA dicermati dari waktu ke waktu sepanjang masa jabatannya menjadi Presiden Republik Indonesia (RI), sejak hampir dua periode (sejak 2004) lalu.
Demikian diperbincangkan kelompok warga Papua di pinggiran Kota Jayapura. “Masalah kita, mulai dari pelanggaran HAM, Indonesia bunuh kita, tangkap kita, adili kita kayak dunia ini tidak mengenal keadilan,” kesal warga Papua ketika mengadili sidang ke-2 Buctar Tabuni, beberapa hari lalu.
Lebih lanjut lagi, Presiden SBY sebagai pemimpin negara yang mencintai keadilan dan kebenaran bersama negara-negara lainnya di dunia, katanya, tak mampu lagi menyelesaikan soal Papua. “Kebijakan yang diambil selama ini, hanya mengorbankan rakyat Papua. Sampai kapan Presiden SBY menyelesaikan Papua? Ini kami juga manusia,” tegas rekan warga lainnya.
Penilaian tersebut, Presiden SBY dicap tak mampu menghormati keaneragaman budaya, agama, serta HAM yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. “Mana realisasi kata memberi kebebasan dan hak kemerdekaan berdaulat kepada rakyatnya? UUD 45 itu omong-kosong besar. Jadi stop abunawas.” tekan sumber itu.
Ketidakjelasan soal penyelesaian masalah Papua, hingga kini, SBY dinilai hanya bikin kabur Papua. “Orang ini (SBY) bikin kabur Papua. Lebih baik kita tembak keluar (Pisah dari NKRI-red),” pungkasnya. (Demmy)

Rabu, 18 Juli 2012

Is Australia Funding Indonesian Death Squads? Densus 88 In West Papua

Ilustrasi Densus 88, Ist
Jayapura, (17/7)---Statement by the West Papua Project, Centre for Peace and Conflict Studies, University of Sydney, 16th July, 2012 Questions are being asked about the role that the partly Australian funded and trained elite Indonesian police squad, Densus (Detachment) 88, has played during the recent violence in West Papua. 
Set up in the wake of the Bali terrorist bombings, Densus 88’s mandate was to tackle the rise of domestic terrorism in Indonesia. Australian support might have been motivated by revenge as well: 88 Australians were killed in the Bali attack. While acclaimed for capturing or killing known and suspected terrorists, Densus 88 also gained a reputation for extreme violence: many suspects being killed rather than arrested. Now reports are suggesting that
Densus 88 is operating in West Papua, possibly clandestinely, and has been responsible for the
assassination-like killing of Papuan political activist, Mako Tabuni, on June 14.

While Indonesian National Police spokesman, Saud Usman Nasution, has denied Densus 88is operating in West Papua he has left the door open for their involvement, saying in the Jakarta Globe onJune 27, “Densus will be deployed if terrorism occurred there.” However other reports, for instance from Kontras Papua, a local human rights organization, state that Densus 88 is already operating in West Papua “carrying out undercover activities” (Cenderwasih Pos, June 23). Kontras Papua believes that Densus 88 was involved in theTabuni killing - where the victim is reported to have been standing in the street eating betel nut when three unmarked cars pulled up nearby. With no provocation a person emerged from one car and shot the victim dead.

Police report that the victim had tried to snatch a weapon from the plainclothes police involved and was killed in the resulting fracas. Police also claim that Mako Tabuni was wanted for a series of shootings that had occurred in Jayapura over the previous few weeks: a claim that seems unlikely given his role as Deputy Director of KNPB (the West Papua National Committee), which is a non-violent political organization. T abuni had also been publicly calling for an independent investigation into the recent shootings of which he was accused. 
Nonetheless, any charges should have been heard in court and given due legal process, now impossible with Tabuni’s death. Other reports of Densus 88 activities in West Papua have come from respected Papuan leaders. Reliable sources observed Densus 88 police arrest KNPB member, Zakeus Hupla, in the lobby of the Dhanny Hotel, Entrop, Jayapura, on the morning of June 23. Other reports indicate further arrests of KNPB m embers by Densus 88 and their subsequent torture. According to family members, no arrest warrants were issuedby Indonesian police for these arrests, and the Jayapura police deny that the KNPB members are in their custody. Indeed it is unclear if these men have been arrested, abducted or ‘disappeared.’

These events are of genuine interest and concern to Australia because Australian taxpayers’ money is spent training and maintaining Densus 88. This organization has a legitimate role to play in countering the rise of terrorism, but it should act strictly within its organisational mandate. If Australian taxpayers are indeed partially funding a clandestine force involved in killings, abduction and torture of Papuan activists an unacceptable situation has developed. 
These events and allegations must be comprehensively investigated and all funding for Densus 88 frozen until either the allegations have been disproved or the individual police officers guilty of crimes arrested and tried in an open court. We call on the Australian government to immediately halt the funding of Densus 88, to investigate the claims of its misconduct, and to apologise to the Papuan people if they are proven to be true. Source: Sumber: www.tabloidjubi.com/

Rabu, 04 Juli 2012

Indonesia and Australia's leaders this week have signed deals on defence cooperation

Indonesia and Australia's leaders this week have signed deals on defence cooperation, and Australia has gifted Indonesia with four refurbished heavy transport aircraft.
While Australia and Indonesia are strengthening their military ties, other nations, such as the Dutch are concerned by the Indonesian military's dismal human rights track record.
While Australia and Indonesia are strengthening their military ties, other nations, such as the Dutch are concerned by the Indonesian military's dismal human rights track record.
But as Australia's military ties with Indonesia grow stronger, other western nations are keeping their distance.
Indonesia has had to pull out of a $280 million deal to buy 100 battle tanks from the Netherlands after waiting several months for the Dutch parliament to approve the sale.

Dutch media reports that the majority of parties in the Dutch parliament opposed the deal because of Jakarta's poor human rights record.

Peter King, a research associate in international relations from the University of Sydney spoke to Radio Australia's Connect Asia. He says that the Dutch's concern with human rights in Indonesia harks back to their historical relationship with the region.
"Well the Dutch have been very sensitive to human rights violations in Jakarta. I think there is a historical reason for that." he said.

"They themselves mucked up the whole West Papua issue during their own colonial administration, they held it back from Indonesia and then in the end had to give in to international pressure."

"So they compensate that by kind of indicating that being forced to hand West Papua to Indonesia, even in this post Suharto democratic period has been a risky business because the army continues to dominate affairs so much in West Papua.
The United States and the European Union have similarly imposed military embargoes on Indonesia, says Peter King, for example, those imposed after massacres committed by the Indonesian military in 1991 and 1991.

The US reinstated military sales to Indonesia in 2006, supported by Australia.
"It wasn't a very good idea because the army has continued to abusive, particularly in Aceh for a time, but Aceh got autonomy and a proper peace deal in 2005."

"In West Papua the human rights violations by the military and the police have continued."
Australia has pursued a strategy of working with the Indonesian military with the hope of improving its record on human rights issues that way. But Mr King says the continuing power of the military in Indonesia is a danger to its democracy.

"I think it is long term danger for Indonesian democracy that the military hasn't been brought in to line on these human rights issues, particularly in West Papua now," he said.

"The Government has just been too reluctant to give up its use of military force to get its way in West Papua. It needs to negotiate with the West Papuans rather than use the so-called security approach."

Souce News: http://www.radioaustralia.net.au/international/

Amerika Dukung Papua, Tapi indonesi Redam

Socrates Sofyan Yoman. (Ist).
Jayapura Voice Baptist,---"Pemerintah Amerika juga sudah menyerukan agar Jakarta segera menggelar dialog menyeluruh dengan tokoh-tokoh Papua. Ia menyayangkan pemerintah pusat selama ini hanya mengedepankan pembangunan dan sisi ekonomi, namun tidak memperhatikan martabat rakyat Papua. "Bagaimana mau dialog kalau semua harus dalam kerangka NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Hanya orang bodoh saja mau percaya," kata Socratez Sofyan Yoman beberapa hari lalu.
Jelasnya, satu hari pada Oktober 2011, Penasihat khusus Sekretearis Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Bidang Pencegahan Pemusnahan Etnis mengajak Pendeta Socrates Sofyan Yoman, tokoh agama di Papua, berbicara di ruang tertutup. Ia ingin tahu situasi terakhir di Bumi Cenderawasih itu."Saya ditanya bagaimana kalau referndum digelar di Papua, bagaimana dengan pendatang?" kata Socrates saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya, Senin lalu. Dengan yakin, ia menjawab sudah pasti Papua merdeka. Ia PBB menyatakan hanya orang asli Papua berhak menentukan nasibnya. Bukan kaum dari daerah lain. Sumber itu menegaskan, dilarang berbicara soal isi pertemuan karena sangat rahasia.
Persoalan Papua mulai kembali mendapat sorotan internasional setelah Mei lalu sidang Dewan Hak Asasi PBB di Jenewa, Swiss, menilai ada pelanggaran hak asasi di sana. Saat itu, ada 14 negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, Jepang, dan Meksiko, menyuarakan soal itu. Menurut Socrates, pemerintah Amerika juga sudah menyerukan agar Jakarta segera menggelar dialog menyeluruh dengan tokoh-tokoh Papua.. Ia menyayangkan pemerintah pusat selama ini hanya mengedepankan pembangunan dan sisi ekonomi, namun tidak memperhatikan martabat rakyat Papua. "Bagaimana mau dialog kalau semua harus dalam kerangka NKRI (Negara kesatuan Republik Indonesia). Hanya orang bodoh saja mau percaya itu," ujarnya.
Sebab itu, Ia meminta agar Jakarta membahas seluruh agenda terkait Papua. Krisis di Papua sangat rumit. Ia juga mensyaratkan Amerika bersama Belanda, dan PBB juga harus hadir. "Papua dari awal merupakan konspirasi internasional antara Amerika, belanda, dan PBB," pesannya. Dihubungi secara terpisah kemarin, utusan khusus Presiden buat Papua, Farid Hussein, mengakui butuh waktu lama untuk menyelesaikan konflik Papua. "Di Aceh saja saya butuh dua tahun," ujarnya. Untuk itu, ia menegaskan tidak boleh ada pihak asing terlibat dalam penyelesaian masalah Papua. Sejauh ini, Farid dan Socrates membantah ada keterlibatan negara lain dalam konflik Papua. "Tidak ada LSM asing. Nggak mungkin berani, bisa habis mereka," tegas Farid.
Kalau memang penyelesaian itu terjadi, Socrates mengisyaratkan rakyat Papua tetap ingin melepaskan diri dari Indonesia. "Ideologi itu sudah lama dan tidak bisa dihapus," katanya. Namun ia menolak menyatakan dirinya menganut ideologi Papua merdeka. "Saya hanya penyambung lidah umat." ucapnya. Boleh jadi, pernyataan Socrates itu benar. Seorang sumber merdeka.com paham situasi di Papua menegaskan, "Kalau referendum digelar sekarang, 99 persen Papua merdeka." pungkasnya. (Voice Of Papua).

Senin, 02 Juli 2012

Pekikir Tepis Tudingan Militer Indonesia

Pemimpin rakyat Papua Merdeka, Lambert Pekikir. (Ist).
Terkait pemberitaan media (Indonesia) dan laporan kronologis  TNI tentang penembakan terhadap Jhon (sebelumnya Yohanes) Yanifrom, Kepala Kampung di Jayapura,  ditolak dengan tegas oleh Lambert via telepon, Senin (2/7) kemarin. 
"Jhon itu anggota resmi TPN-OPM. Dia juga kepala desa Sawyatami. Saat ini markas besar OPM berduka,” tegas Lambertus. Ia mengatakan, dirinya terakhir bertemu dengan Jhon dua hari sebelum peringatan hari jadi Papua Barat. “Kami akan mancari tahu dengan cara kami atas kematian Jhon,” lanjutnya.Lambert selaku penanggung jawab perayaan HUT Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat, mengatakan, dirinya bersama seluruh pasukan menghargai hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Papua Barat, sejak kemarin lalu (30 Juni – 1 Juli 2012). "Kami berada di titik perayaan HUT dan melakukan upacara pengibaran bendera. Tidak benar kalau pasukannya melakukan penembakan terhadap warga Papua di pinggir jalan," tegasnya.
Perayaan Kemerdekaan Papua telah dirakayakan secara terhormat, meski di tengah hutan belantara. Serta tanpa melakukan tindakan tembak menembak. "Apalagi kepada warga sipil yang tidak berdosa.  TNI jangan menuduh dan mengkambinghitamkab OPM sebagai pelaku penembakan terhadap Yohanes Yanafrom," ujarnya. Sebab tidak mungkin  OPM membunuh rakyatnya, apalagi korban (Kepala kampung) itu berstatus dalam keluarganya sebagai pangkat keponakan, ujarnya bersedih. 
Selain itu, Lambert membenarkan pengibaran bendera bintang fajar di tiga tempat, namun ketiganya dilakukan dalam rangka memperingati HUT Proklamasih kemerdekaan Republik Papua Barat. Ia juga menyayangkan aksi penembakan yangdilakukan oleh TNI. Sesuai pantauannya di lapangan, hari itu, Pekikir melaporkan sekitar 8 truk Dalmas dari Brmob dan TNI melakukan penyisiran dan pengejaran terhadap warga Papua. "Tidak hanya ditembak, tapi dari pada warga dikejar dan ditembak, makanya sebagian   besar warga di wilayah Kerom telah mengungsi ke hutan," jelasnya. (Sumber: Suara Baptis Papua)

TNI Tembak Kepala Kampung, 2 Warga Lain Ditangkap

Ilustrasi korban warga Papua di Jayapura, Papua. (Ist)
Jayapura VB,-- Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Proklamasi Kemerdekaan Republik Papua Barat, 1 Juli 2012 yang dirayakan oleh Tentara Pembebasan Nasional, Organisasi Papua Merdeka (TPN.OPM) dinodai dengan tindakan represi militer Indonesia melalui TNI yang menembak mati salah satu warga Papua yang merupakan Kepala Kampung Sawiyatami, Wembi. Indonesia melalui Polri juga menangkap 2 warga Papua di Wamena tanpa alasan yang jelas. Rakyat Papua terancam diatas negerinya sendiri.
Dari pantauan KNPBnews di Wamena, minggu pagi (1/7) tadi pukul 06:00 wp, dua orang aktivis  masing-masing Enor Itlay (28) dan Semi Sambom (29) ditangkap oleh jajaran Polres Jayawijaya saat keduanya sedang dalam perjalanan pulang ke kampung Pugima yang tidak jauh dari kota Wamena.  Tanpa alasan yang jelas, kedua aktivis ini dibawa ke Mapolres Jayawijaya dan sedang diinterogasi. 
Di Kerom, perbatasan RI-PNG,  Yohanes Yanafrom, salah satu kepala kampung ditembak mati oleh TNI yang sedang melakukan patroli. Dari sumber Lambert Pekikir, Koordinator TPN.OPM dari Markas Pusat Victoria selaku penanggung jawab HUT Proklamasih Kemerdekaan Republik Papua Barat, 1 Juli 2012 bahwa dirinya telah mendapat informasih langsung dari warga Papua di tempat kejadian bahwa korban pada pukul 08.00 wp sedang mengendai motor dan diikuti oleh mobil milik TNI yang melakukan patroli dan menembak langsung ke arah korban hingga jatuh dan mobil yang dikendarai TNI melaju meninggalkan korban.
Melihat korban terjatuh, beberapa warga bermaksud melihat korban yang terkapar di badan jalan, belum lama kemudian iring-iringan mobil TNI kembali menuju ke tempat kejadian dan melakukan penembakan secara membabi buta kepada warga yang sedang mengamankan korban. Lalu warga berlari menuju hutan mengamankan diri. Lambert menuturkan ada beberapa warga yang tertembak serpihan peluruh TNI, lainnya luka-luka. (Sumber: Voice of Baptis Papua)

Minggu, 01 Juli 2012

Militer Indonesia Dinilai Menciptakan Kekacauan di Papua

Ilustrasi korban kekerasan militer Indonesia di Papua. (Ist).

Rentetan penembakan bersenjata terhadap warga asing dan sipil di Papua selama ini, dinilai aksi shock teraphy militrer Indonesia. Demikian diungkapkan warga dalam diskusi tertutup di Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, Senin (2/7).
Kelompok warga Papua, di  Kampus Uniersitas tersebut, dilontarkan para mahasiswa, asal Papua. “Semua kekacauan ini dirangkai demi kepentingan politik Indonesia di Papua,” simpulnya dalam diskusi tersebut. Alasannya cukup mencolok. Situasi hak Politik Papua telah menggema di tingkat dunia. “Karena aspirasi hak kebebasan politik (Papua Merdeka-red) telah sampai di meja PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa),” jelas kelompok independen itu.
Berkaitan rentetan aksi tersebut, Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti mengatakan, aksi penembakan di Papua berbeda dengan aksi penembakan bermotif ekonomi di kota lain di Indonesia. “Jadi aksi penembakan misterius di Papua itu, ingin menciptakan situasi chaos dan ketakutan masyarakat,” ujar Indarti, beberapa waktu lalu.  Aksi penembakan misterius di Papua diawali sejak masa orde baru. Kala itu, Presiden Soeharto tahun 1983 juga menerapkan aksi  bersejata misterius (dari anggota Anggota Bersejata Republik Indonesia – ABRI untuk shock therapy bagi kelompok yang dianggap kriminal.
Hingga kini aksi misterius kerap terjadi di Papua. Herannya Militer Indonesia tak pernah mengungkap pelaku secara independen dan terbuka,kecuali pernyataan publik yang menuding pelaku berasal dari organisasi Papua Merdeka (OPM).  Indonesia selalu berkata basi. OTK, alias orang tak dikenal, namanya.

Endarti  mendesak Presiden SBY agar mempersiapkan dialog antara Jakarta dan Papua. Aspirasi Rakyat Papua harus didengar. Sebab pendekatan keamanan dan pendekatan ekonomi selama ini hanya bersifat top-down. “Korban akan terus bermunculan sana-sini. Mestinya SBY tanggap persoalan ini sesuai dengan keinginan rakyat Papua,” ujarnya. Bukan nafsu Jakarta, untuk menguasai dan membunuh rakyat Papua tanpa batas waktu. (Almer Pits)

Militer Indonesia Tembak Kepala Kampung Sawiatami

Peta Target Militer Indonesia. (Ist).
“Tentara (Indonesia) dari Yonif 431 mengejar masyarakat di kampung ini. Tapi mereka (TNI) tuding kita yang tembak,” kata warga Kampung Sawiatami, Arso Kabupaten Kerom Papua, Senin (2/7). 
“Warga tidak pernah melakukan tembakan, tapi sejak hari Sabtu pagi, tentara (Indonesia) su berkeliaran,” tepisnya. Sejak pekan kemarin, sumber lainnya mengatakan, militer Indonesia ditugaskan untuk menguasai Kerom, dengan alasan politik. Sejak pasca manipulasi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua tahun 1969, warga dipaksa untuk mengikuti Indonesia. Sejak itu pula, kebebasan warga, hak berpendapat di muka umum ditekan oleh militer Indonesia. Hingga tahun 1971, tanggal 1 Juli saaat itu, Organisasi Papua Merdeka (OPM) deklarasikan kemerdekaan Papua secara utuh dari Sorong sampai Samarai, dari Sorong sampai Port Numbay.  “Tapi dorang (mereka-Indonesia-red) pikir, daerah Kerom sebagai dareah merah. Maka itu bertepatan dengan hari HUT (OPM, 1 Juli 2012), tentara banyak turun dan kejar masyarakat,” sambung warga lainnya.
Berkaitan dengan penembakan terhadap Kepala Kampung Sawiatami (Yohanes Yonafrom, Minggu (1 Juli 2012), kata salah satu warga, Watae, sejumlah peristiwa kejanggalan terjadi di wilayah kekuasaan Tentara Republik Indonesia itu. “Masa tiba-tiba bendera (Bintang Kejora) berkibar depan Kios. Heran,karena tak hanya itu. Depan rumah warga juga, terang-terangan bendera berkibar, sementara warga sedang mengungsi dan takut keluar rumah.  Tentara yang ada patroli rame-rame sini itu kemana? Ini aneh,” tepisnya. Meski demikian, pihak Militer Indonesia masih mengklaim penembakan Kepala Kamjpung Sawiatami di Kerom Papua dilakukan oleh OPM. 
Peristiwa dan kronologis yang mengedepankan kepentingan, baik pihak Indonesia maupun Papua, seharusnya mengundang perhatian pihak dunia Internasional sebagai pihak independen. Kalau tidak, sampai kapan pengejaran dan penembakan terhadap warga Papua akan terhenti? (Almer Pits)