Selasa, 10 Februari 2015

Jennifer Robinson : Pernyataan O’Neill adalah Perkembangan Besar

Jayapura, Jubi – Pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) dari Australia, Jennifer Robinson menyambut baik dukungan Perdana Menteri Papua Nugini (PNG), Peter O’Neill terhadap saudara-saudaranya di Papua Barat.

Dalam pernyataannya minggu lalu, Peter O’Neill meminta pemerintahannya melakukan sesuatu yang lebih kuat untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat yang adalah bagian negara tetangga PNG, Indonesia.
Robinson, yang telah lama membela aktivis perjuangan Papua Barat mengatakan pernyataan O’Neill menunjukkan perubahan sikapnya dan juga pemerintah PNG.
“Pernyataan O’Neill adalah perkembangan besar untuk Papua Barat,” kata Robinson, Sabtu (7/2/2015).

Dia menambahkan, perubahan ini telah datang dan merupakan bukti kekuatan gerakan dan dukungan masyarakat PNG terhadap suadara mereka di bagian lain pulau New Guinea.
“Seperti yang telah terlihat di Vanuatu, rakyat telah mengkritik pemerintah mereka untuk menanggapi kegagalan pemerintah di negara-negara Melanesia untuk membawa isu Papua Barat di lingkup regional Melanesia,” kata Robinson yang juga pengacara pendiri WikiLeaks, Julian Asange.

Sebagaimana diberitakan oleh media PNG, Perdana Menteri Papua Nugini (PNG), Peter O’Neill membuat pernyataan yang membalikan pandangan tentang dukungan PNG terhadap perjuangan pembebasan Papua Barat. O’Neill berjanji untuk berbuat lebih banyak berbicara atas nama Melanesia untuk Papua Barat.
“Kadang-kadang kita lupa keluarga kita sendiri, saudara-saudara kita sendiri, terutama di Papua Barat,” kata O’Neill saat menyampaikan pidatonya pada pertemuan tingkat pemimpin PNG di Port Moresby, Kamis (5/2/2015.

O’Neill juga mengatakan sebagai negara, sudah saatnya PNG berbicara tentang penindasan rakyat kita di Papua Barat.
Pernyataan O’Neill ini kemudian ditanggapi oleh Ketua Komisi HAM Republik Indonesia, Hafid Abbas, yang berharap Pemerintah Indonesia meminta klarifikasi pemerintah PNG.
“PNG tetangga kita. Kita harus bekerjasama dalam berbagai aspek pembangunan bersama. Saya berharap Presiden, Wakil Presiden dan Menteri Luar Negeri, berkunjung ke Papua Nugini untuk meminta klarifikasi,” kata Hafid Abbas. (Victor Mambor)

Suku Pribumi Tergusur Akibat Mega Proyek MIFEE

Mega proyek perkebunan di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua telah membuat kelangsungan hidup masyarakat adat terancam, setelah hutan yang menjadi tempat mereka mencari makan dikonversi  dengan cara tidak adil menjadi lahan perkebunan, demikian klaim para aktivis.

Salah satu potret kehidupan warga pribumi di Kabupaten Merauke Papua, dimana orangtua merasa gelisah dan tidak ada harapan untuk kehidupan warisan mereka bila tempat hidup berupa tanah, hutan sungai dan areal perkampungan, serta dusun wilayah masyarakat adat dipergunakan sebagai kawasan perusahaan yang mementingkan kaum kapitalis dan kaum penjajah ekonomi modern. (Ist)

Theo Erro, aktivis Papua yang bekerja di Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Merauke mengatakan, konversi lahan melalui proyek the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) membawa dampak serius bagi kehidupan Suku Marind Anim yang selama ini hidup berburu dan meramu.

Proyek MIFEE yang dimulai pada 2010 dengan luas lahan yang dialokasikan 2,5 juta hektar dari luas total Kabupaten Merauke sekitar 4 juta hektar merupakan bagian dari upaya pemerintah menjadikan Merauke sebagai pusat pangan.

Saat diluncurkan tahun 2010, katanya, Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, proyek ini ditargetkan bisa “memberi makan penduduk Indonesia dan dunia”.

Namun, kata Theo, kehadiran MIFEE justru menimbulkan ketidakadilan bagi Suku Marind Anim yang sebelumnya menjadikan hutan sebagai lahan untuk mencari makan.

“Akibat kehadiran MIFEE, hutan dibabat. Pohon sagu yang jadi sumber makanan sudah ditebang dan hewan untuk berburuh sudah hilang.  Warga sudah kesulitan mencari makan”, kata Theo.

Bahkan, kata dia, di Zanegi, salah satu kampung, wilayah yang hanya berjarak 200 meter dari pemukiman warga sudah dikonversi jadi lahan perkebunan.

Saat ini terdapat 19 perusahan yang mendapat izin. Mereka berada di sekitar kampung  Zanegi, Selil, Makaling, Domande, Okaba, Muting, Sota, Kumbe, Kurik dan Merauke dimana Suku Malind Anim berada.

Erro menegaskan, proses mendapat izin bagi perusahan-perusahan itu dilakukan dengan tidak fair.

“Meski masyarakat menolak menyerahkan lahan mereka, namun kemudian mendapat intimidasi. Ada keterlibatan aparat keamanan yang memaksa masyarakat untuk melepas lahan mereka”, katanya.

Ia menjelaskan, masyarakat yang menolak biasanya akan dijemput dari kampung oleh aparat dan dibawa ke hotel-hotel di kota Merauke untuk menandatangani surat perjanjian penyerahan lahan kepada perusahan.

“Masyarakat umumnya tidak tahu apa isi perjanjian dalam surat itu, karena mereka umumnya tidak bisa membaca. Yang mereka tahu, mereka diinformasikan bahwa lahan mereka akan dikontrak selama 35 tahun dan mendapat ganti rugi sekitar Rp 2.000 per hektar”, katanya.

Namun, kata Theo, siapa bisa menjamin, bahwa tanah mereka bisa dikembalikan setelah 35 tahun, karena mereka tidak tahu pasti isi perjanjian  itu.

Praktek demikian, kata dia, sudah berlangsung sejak awal masuknya MIFEE.

“Semua proses itu dijalankan dengan melibatkan pengusaha, pemerintah lokal dan aparat keamanan. Kami sulit membongkar praktek ini, karena mereka bekerja begitu rapi”, katanya.

“Kami menduga kuat ada praktek kotor korupsi dalam penerbitan izin-izin itu”, tambahnya.

April Perlindungan dari LSM pemerhati masyarakat adat PUSAKA mengatakan, kehadiran MIFEE selain merusak lingkungan, juga memicu kepunahan suku asli Papua yang sekarang tinggal 60 persen dari populasi.

Apalagi, menurut dia, setiap tahun jutaan pekerja perkebunan dikerahkan ke Merauke dengan skill yang lebih dibandingkan warga asli sehingga mereka menempati posisi tinggi dalam pekerjaan, sementara warga asli terpaksa menjadi buruh kasar.

Ia menegaskan, perlawanan gigih dari warga terus dilakukan, bahkan suku Malind Anim telah menyampaikan keluhan mereka kepada Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.

“Laporan kerusakan tanah adat, pemaksaan militer sudah disampaikan, termasuk proyek-proyek yang tanpa melalui kajian soal dampak terhadap lingkungan”, katanya.

Namun, menurut dia, meski berdasarkan informasi yang mereka dapat, Pelapor Khusus PBB ingin meneliti masalah ini, namun  pemerintah Indonesia belum memberi respon dan telah menolak kehadiran PBB.

“Hal yang sama terus berlabgsung. Tak ada niat pemerintah untuk mendialogkan masalah ini, termasuk dengan kami, demi menyelamatkan warga Papua”, katanya. (Honny)

Merebut Ampas Freeport

Tabloidjubi.com --- Perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu, ke Papua karena diusir dari Cuba. Perusahaan Freeport Sulphur hancur lebur gara-gara peralihan pemerintahan di Cuba, 1959. Fidel Castro merontokan kekuasaan rezim Batista, seluruh perusahaan asing dinasionalisasikan termasuk Freeport.
Agustus 1959, Direktur Freeport Sulphur Forbes Wilson bertemu Jan van Gruisen, Direktur Pelaksana East Borneo Company yang secara kebetulan menemukan laporani Gunung Earstberg di Irian Barat. Wilson berekspedisi 1960 dibantu Mozes Kilangin dan kawan-kawan, tanpa kawalan pasukan polisi dan tentara Belanda.
Mineral FI ditambang 1970, di Erstberg sesuai kontrak karya 1967, saat itu sebagai perusahaan tertutup, hingga mineral Ersberg habis, 1980 an. Awal 1990 an Grasberg mulai produksi setelah go public menjual lima juta lembar saham(23,4 persen) di New York Stock Exchange dengan perolehan 3.31 milliar dollar USA. Perusahaan ini berubah menjadi Freeport Mc Moran Copper & Gold Company, Inc. Pemerintah RI sejak itu hanya punya 9,36 persen saham.
Grasberg di Papua, Emas di Amerika Serikat.(Jubi/ist)
Sebagai perusahaan kecil yang diusir dari Cuba, kini menjelma sebagai perusahaan tambang raksasa dunia. PT FI saat itu mengaku menambang tembaga dan emas produk sampingan sehingga perlu bayar pajak dan royalti tembaga. Padahal, nilai finansial emas sangat besar, Freeport tumbuh besar karena menambang di lokasi yang paling menguntungkan di dunia.
Situs Fcx.com(23/4/2014) menyebutkan Freeport punya tambang mineral di Amerika Serikat, Chili, Peru,Afrika Selatan dan Papua(RI). Selain itu Freeport juga punya bisnis migas di AS dan Teluk Meksiko, total cadangan 464 juta barrel.
Uang setoran Freeport jadi rebutan, Pemkab Mimika tak puas, hanya Rp 200 Milyar. Pemerintah Papua dan Pemkab Mimika harus tegas bersama perusahaan memberikan jaminan kepada masyarakat pasca tambang. Apalah artinya uang, kalau Freeport angkat kaki dan masyarakat makan tailing.* (Diposkan oleh :  on February 10, 2015 at 23:25:46 WP  ])