Rabu, 29 Mei 2013

Senin, 27 Mei 2013

BELAJAR DARI PENGALAMAN PERWAKILAN OPM DI SENEGAL

Fileb Jacob Semuel Karma, salah seorang pejuang Papua Merdeka memberi dukungan bagi perwakilan di MSG. Semua pejuang Papua membagi tugas dan peran masing-masing.(Jubi/ist)
Jayapura, 25/5(Jubi)–- Aktivis pejuang Papua Merdeka Filep Jacob Semuel Karma yang akrab dipanggil Jopie Karma  telah mengingatkan agar pengalaman perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Senegal jangan sampai terulang lagi. Peringatan ini penting dalam menjalin kerja sama dengan Persaudaraan Ujung Tombak Negara Negara  Melanesia di Pasifik Selatan.

Namun yang jelas Karma mendukung upaya yang dilakukan West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL)untuk perjuangan Papua Merdeka sebagai wakil bangsa Papua di MSG. Lebih lanjut  kata Karma dalam perjuangan Papua Merdeka, semua kelompok dalam faksi-faksi membagi-bagi peran dan tugas masing-masing untuk mencapai kemerdekaan.

Mendiang Ben Tanggahma mantan Kepala Perwakilan Organisasi Papua Merdeka(OPM) di Senegal pernah bertugas selama beberapa tahun di sana dan mendapat dukungan dari pemerintah Senegal. Sayangnya beberapa tahun kemudian pihak pemerintah Indonesia dengan kekuatan modal melakukan pendekatan dan kerja sama ekonomi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Senegal. Akibatnya kantor Perwakilan OPM di Senegal ditutup karena kekuatan modal yang dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kondisi ini diperparah lagi dengan munculnya faksi-faksi dalam perjuangan Papua Merdeka, sehingga memperlemah perjuangan Papua Merdeka.

Ben Tanggahma mengatakan sebagai sesama bangsa kulit hitam memang banyak negara-negara Afrika sangat mendukung Papua Merdeka tetapi negara-negara Afrika yang miskin dan butuh dukungan kerja sama ekonomi. Kondisi inilah yang terkadang mengenyampingkan kesamaan kulit dan ras demi kepentingan kepentingan politik yang lebih besar.

Prof Dr Nazaruddin Sjamsoddin dalam bukunya berjudul, Integrasi Politik di Indonesia menyebutkan  secara umum bisa dikatakan OPM sebagai sebuah organisasi perjuangan terbagi atas dua jenis gerakan yang masing-masingnya mengkoordinasikan kegiatan politik dan militer.

Dalam penelitiannya tentang Integrasi Politik di Indonesia, Nazaruddin menulis ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya gerakan politik dan militer bekerja sama dengan baik dalam perjuangan Papua Merdeka.

Faktor yang pertama tentu saja keterbatasan ruang gerak yang disebabkan oleh operasi-operasi militer dan tindakan-tindakan lain yang diambil oleh Pemerintah Indonesia.

Belakangan setelah reformasi di Indonesia 1998, salah satu  pemimpin Papua  alm Theys Hiyo Elluay lebih memilih perjuangan damai dalam sopan santun politik. Soalnya bagi Theys kemerdekaan Papua sudah ada pada 1 Desember 1961 dan tinggal mengembalikan hak-hak politik.

Kedua, adanya latar belakang suku yang berbeda di antara sesama pemimpin OPM baik di kalangan militer maupun politiknya yang sering menimbulkan perbedaan interpretasi atas sasaran-sasaran perjuangan dan perbedaan kepentingan.

Ketiga adanya perbedaan iedologi di antara sesama pemimpin OPM; di antara mereka ada yang berorientasi ke kanan dan ada pula yang kekiri. Keempat, kekurangan dana membatasi kegiatan pemimpin-pemimpin politik OPM, termasuk hubungan mereka dengan pemimpin gerakan militer. Kelima pembatasan-pembatasan yang dikenakan pemerintah Papua New Guinea(PNG).

Kegiatan-kegiatan Papua Merdeka di luar negeri pertama kali berpusat di Negeri Belanda di mana terdapat dua pentolan pemimpin Papua masing-masing alm Markus Kaisiepo dan Nicolas Jouwe. Belakangan Nicolas Jouwe , Frans Alberth Yoku dan Nicolash Meset kembali ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia

Selain di Negeri Belanda ada juga kelompok yang tinggal di Stockholm Swedia pada 1972 sudah membuka perwakilan OPM di sana. Bahkan mendapat dukungan dari sekolompok akademisi senior beraliran Marxis di Universitas Stockholm, Swedia. Kantor ini ditutup pada 1979 ini karena kekurangan dukungan dana. Begitupula perwakilan OPM di Dakar, Senegal didirikan pada 1976 dan mendapat dukungan-dukungan  dari negara-negara Afrika selama beberapa tahun.

Markus Kaisiepo lebih percaya kepada kekuatan militer untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua sehingga bekerja sama dengan Door de eeuwen trouw, sebuah Yayasan yang menjadi tulang punggung pemerintahan dalam pengasingan RMS dibawah kepemimpinan Ir Manusama beberapa waktu lalu.

Pemimpin OPM di Dakar dan Stockhol lebih banyak dikuasai oleh pemimpin muda seperti alm Ben Tanggahma.Perwakilan OPM di Dakar didukung sepenuhnya oleh Presiden Senegal Senggor antara lain dengan menyalurkan dana-dana swasta. Ben Tanggahma juga dibantu oleh beberapa negara kelompok Brazzaville 13 yang memang tidak mendukung Indonesia dalam pembahasan masalah Irian Barat di PBB sejak 1960 an.

Sedangkan dukungan di Pasifik Selatan, terutama negara-negara Melanesia Vanuatu membuka perwakilan di sana pada 1983. Vanuatu yang mendorong agar sesama negara Melanesia saling membantu dalam perjuangan dan kepentingan politiknya. Agaknya pemerintah Papua New Guinea (PNG) akan mempunyai posisi yang sulit karena berbatasan langsung dengan Indonesia (Provinsi Papua). Apalagi  Perdana Menteri (PM) pertama PNG  Michael Somare telah menegaskan tidak mendukung OPM di dalam perjuangan Papua Merdeka.

Namun yang jelas letak geografis antara sesama negara Melanesia bisa menjadi salah satu faktor pendukung guna menjalin kerja sama antar persaudaraan Melanesia. Pesan Filep Karma soal perjuangan dan dukungan negara-negara sesama Melanesia sangat penting tetapi jangan sampai pengalaman di Senegal terulang lagi. Pasalnya perbedaan pendapat dalam perjuangan politik dan juga dukungan dana bisa menjadi penghambat.

Apalagi pendekatan politik dan ekonomi pemerintah Indonesia bisa menjadi  posisi tawar bagi negara-negara Ujung Tombak Persaudaran Melanesia. Perjuangan Papua Merdeka juga akan mendapat tekanan dari tiga negara penting di Pasifik Selatan masing-masing Papua New Guinea(PNG), Selandia Baru dan Australia. Ketiga negara ini mempunyai hubungan politik dan ekonomi yang sangat baik dengan pemerintah Indonesia.(Jubi/Dominggus A Mampioper)

Minggu, 26 Mei 2013

KESAKSIAN AI TENTANG AKUNTABILITAS DAN PELANGGARAN HAM OLEH POLISI DI PAPUA

T. Kumar, Direktur Adokasi Internasional Amnesty International AS (tlhrc.house.gov)
Jayapura, 24/05 (Jubi) – Penyelidikan terhadap laporan pelanggaran yang dilakukan polisi amat langka, dan polisi sering membuat pengadu tunduk pada intimidasi dan pelecehan dalam pemeriksaan.

T. Kumar, Direktur Adokasi Internasional Amnesty International AS memberikan kesaksiannya tentang Akuntabilitas dan Dugaan Pelanggaran HAM di Indonesia di hadapan Komisi HAM Parlemen AS. Sebagian kesaksiannya itu, tentang Akuntabilitas dan Dugaan Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polisi di Papua. Berikut bagian tentang Papua dari kesaksian yang disampaiakan kemarin (Kamis, 23/5) waktu Washington DC.

“Amnesty International terus menerima laporan yang dapat dipercaya mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi di Indonesia, termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dan penganiayaan, penggunaan kekuatan dan senjata api yang tidak perlu dan berlebihan saat melakukan penangkapan dan selama demonstrasi, dan kegagalan untuk melindungi korban pelanggaran hak asasi manusia.

Penyelidikan terhadap laporan pelanggaran yang dilakukan polisi amat langka, dan polisi sering membuat pengadu tunduk pada intimidasi dan pelecehan dalam pemeriksaan. Mekanisme disiplin internal kepolisian saat ini tidak memadai untuk menangani pelanggaran pidana yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan sering tidak diketahui oleh masyarakat. Selanjutnya, badan pengawasan eksternal kepolisian tidak memiliki wewenang yang memadai untuk membawa mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia ke pengadilan.

Tujuh orang dilaporkan disiksa di Provinsi Papua pada Februari 2013 saat mereka diinterogasi oleh polisi tentang keberadaan dua aktivis pro-kemerdekaan. Menurut sumber yang dapat dipercaya, polisi berpakaian sipil secara sewenang-wenang menangkap Daniel Gobay dan dua pria lainnya pada pagi hari, 15 Februari 2013 di Depapre, Provinsi Papua. Ketiga orang itu pertama kali dipaksa merangkak sejauh 30 meter ke kantor polisi sektor Depapre dan kemudian pindah ke kantor polisi distrik Jayapura satu jam kemudian. Di sana mereka kemudian dipaksa untuk push-up, ditendang di wajah, kepala dan punggung, dan dipukuli dengan tongkat rotan. Polisi diduga menodongkan senjata ke kepala mereka, mulut dan telinga. Mereka diinterogasi sampai larut malam dan berlanjut pagi hari berikutnya.

Matan Klembiap dan tiga pria lain secara sewenang-wenang ditangkap secara terpisah oleh polisi berpakaian preman pada pagi hari 15 Februari di Depapre dan dibawa ke kantor polisi Jayapura kabupaten. Keempat orang juga dipaksa untuk push-up dan ditendang dan dipukuli dengan tongkat rotan dan balok kayu oleh petugas polisi. Salah seorang pria telah bersaksi di video bahwa polisi memberinya kejutan listrik.


Pada 16 Februari, lima dari orang-orang itu dibebaskan tanpa dakwaan, tapi Daniel Gobay dan Matan Klembiap ditahan polisi. Mereka tahan dengan tuduhan “kepemilikan senjata tajam” berdasarkan Peraturan Darurat No 12/1951 dan saat ini sedang menunggu sidang.

Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi terhadap demonstran di Papua:

Pada tanggal 23 Oktober 2012, sekitar 300 orang berkumpul untuk sebuah demonstrasi pro-kemerdekaan yang diselenggarakan oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di depan Universitas Negeri Papua di Manokwari, Provinsi Papua Barat. Polisi Sektor Manokwari dan personil militer mencegah mereka untuk melanjutkan sepanjang jalan. Menanggapi batu yang dilemparkan oleh beberapa pengunjuk rasa, polisi melepaskan tembakan tanpa pandang bulu, melepaskan tembakan ke udara dan ke arah kerumunan. Beberapa demonstran melaporkan bahwa mereka dipukuli oleh polisi.

Setidaknya sebelas demonstran dilaporkan terluka, empat dari mereka menderita luka tembak. Seorang wartawan, Oktovianus Pogau, yang sedang meliput demonstrasi, menyatakan bahwa ia diserang oleh polisi. Salah satu dari polisi memegang tenggorokannya sementara yang lain meninju wajahnya saat ia mencoba untuk mengambil kartu pers untuk ditunjukan kepada mereka. Setidaknya lima polisi juga dilaporkan menderita luka-luka. Indonesia belum sepenuhnya memasukkan definisi penyiksaan dalam KUHP nya, sehingga gagal memenuhi kewajibannya sebagai negara pihak Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (UNCAT). Kurangnya ketentuan-ketentuan hukum yang memadai mengenai “tindakan penyiksaan” menciptakan celah yang memiliki konsekuensi yang menghancurkan. Ini tidak memberikan dasar hukum yang memadai di mana agen-agen negara dapat dibawa ke pengadilan. Lebih lanjut hukum gagal untuk memberikan efek jera untuk mencegah agen negara melakukan tindakan tersebut.” (Jubi/Benny Mawel)

Kamis, 16 Mei 2013

Wawancara Dominic Brown Tentang Papua

Ucapan selamat dari rakyat Papua kepada Perdana Menteri Inggris yang baru, David Cameron (Foto: Dominic Brown)
PAPUAN, Inggris — Sejak 1 Mei 1963, Pemerintah Indoensia telah menutup akses untuk aktivis,  wartawan asing, dan diplomat internasional untuk mengunjungi tanah P apua.
Negara mewajibkan siapa saja untuk memiliki sebuah “surat jalan” dari Kementerian Luar Negeri Indonesia di Jakarta.
Dominic Brown, salah satu video maker berhasil mengunjungi Papua dengan cara menyamar. Ia melakukan wawancara dengan berbagai pihak di tanah Papua, termasuk tokoh terkemuka Organisasi Papua Merdeka (OPM), Goliat Tabuni. Hasilnya, Video berjudul “Forgotten Bird of Paradise” atau “Cenderawasih Yang Terlupakan” dilaunching pertengahaan tahun 2012 lalu di Inggris. 
Wempi Fatubun, Video Makar dari Papuan Voices,  beberapa waktu lalu mendapat kesempatan untuk wawancara langsung Dominic Brown. Ikuti petikan wawancara secara lengkap dibawah ini :
Kegiatan Terkini Anda?
Saya sementara sedang membuat film documenter yang lumayan panjang tentang seorang pemimpin kemerdekaan Papua Barat, Benny Wenda. Saya baru saja kembali dari perjalanan selama lima minggu bersama-sama dengan beliau.  Ini adalah perjalanan resminya yang pertama kali di luar Inggris sejak perintah penangkapan atas dirinya yang dikeluarkanoleh Interpol dicabut.
Kami mengunjungi Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Papua New Guinea dan Vanuatu.  Film documenter ini mengkisahkan tentang kehidupan Benny Wenda sebagai seorang aktivis, yang memfokuskan diri pada menjelaskan tentang keadaan di tanah airnya, dan upaya-upaya yang dilakukannya agar referendum kemerdekaan yang bebas dan adil dapat dilaksanakan
Ceritakan tentang siapa Anda sebagai seorang pembuat film?
Saya mulai membuat film sesudah saya mengalami hal yang tidak bisa saya lupakan di Papua Barat. Saya mengunjungi tempat itu ketika saya berusia 21 tahun, dan saya benar-benar terkejut ketika melihat situasi di sana.
Dengan mata kepala saya sendiri saya melihat bagaimana orang-orang asli Papua diperlakukan sebagai warga Negara kelas dua, dan setiap hari menderita pelanggaran HAM.
Waktu saya kembali ke Inggris dan mencerita kanapa yang terjadi di Papua Barat kepada teman-temansaya, ternyata belum ada seorang pun yang pernah mendengar tentang keadaan di Papua.  Jadi, saya bertekad, bahwa pada suatu hari saya akan kembali ke Papua untuk membuat sebuah film dan membantu semampu saya agar hal-hal yang terjadi disana bisa di ceritakan keluar.
Saya belum pernah mengikuti pelatihan pembuatan atau pengeditan film sebelumnya. Namun, saya pikir hal itu banyak manfaatnya bagi saya, karena saya bias membuat film semata-mata dari perspektif saya, ketimbang apabila saya mengikuti pelatihan, dan saya malah diberitahu tentang hal-hal apa yang harus dan tidak boleh saya lakukan.
Mengapa Anda menggunakan gambar bergerak?
Menurut saya, video adalah media yang sangat handal. Dengan video Anda bias menangkap momen-momen yang dengan mudah dilupakan apabila tidak ada video. Dengan gambar bergerak kita bias berbagi cerita dan memberikan ‘jendela-jendela’ kepada orang lain dan kisah-kisah dari peristiwan-peristiwa yang mereka alami, yang apabila tidak ada, tidak akan pernah diketahui oleh orang lain.
Hal-hal apa yang Anda sampaikan dalam karya-karya video Anda?
Semua yang sudah saya kerjakan didasarkan atas pengalaman-pengalaman saya sendiri, dan terutama pada peristiwa-peristiwa yang paling mutakhir di seputar keadilan social dan hak-hak azasi manusia.
Tahun lalu saya di Sahara Barat dan membuat sebuah film tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh orang-orang Sahrawi.
Menurut saya, melalui film, kita dapat membuka mata orang lain atas hal-hal yang mereka belum ketahui, dan sekaligus memberikan inspirasi kepada mereka agar mereka bertindak.  Dengan begitu, Anda sudah melakukan sesuatu yang sangat berpengaruh.
Saya juga baru saja menyelesaikan sebuah film tentang seorang laki-laki yang percaya bahwa ia adalah titisan Raja Arthur, seorang figure mitos Inggris.  Ia adalah seorang Inggris yang eksentrik, sebelumnya bekerja sebagai prajurit Angkatan Darat.  Ia juga adalah seorang veteran aksi-aksi prote sdi jalan raya, dan seorang aktivis lingkungan hidup.
Anda sudah membuat sejumlah video. Mohon ceritakan kepada kami tentang film”Forfotten Bird of Paradise” dan latar belakangnya?
“Forgotten Bird of Paradise” (Cenderawasih yang Terlupakan) adalah film pertama yang saya buat. Saya menghabiskan dua bulan untuk bepergian dengan menyamar di Papua Barat.
Saya berhasil bertemu dengan korban-korban pelanggaran HAM, aktivis kemerdekaan Papua, dan sejumlah anggota perjuangan bersenjata. Film itu diterima dengan baik, memperoleh penghargaan sebagai Film Dokumenter Terbaik di Festival Film Dam Short, dan dipertunjukkan di festival-festival film yang lain, termasuk Raindance. Film itu juga diputar di program berita terkini “BBC Newsnight” di Inggris.
Bagaimana Anda melihat pengaruh distribusi online (melalui internet) terhadap pembuatan video independen?  Bagaimana Anda menggunakan alat-alat bantu online dalam pekerjaan Anda?
Dewasa ini, segala sesuatu di-online/internet-kan.Youtube, Vimeo, Twitter dan Facebook adalah ‘panggung’; yang saya gunakan, dan sudah barang tentu situs (website) saya.
Teknologi digital telah membuka kesempatan yang benar-benar luas. Apabila Anda bias mempromosikan sebuah film dengan baik, film itu dengan cepat bias ditonton oleh ribuan orang.
Ada banyak video seperti itu. Menurut pendapat saya, kuncinya adalah membuat video yang isinya menyentuh emosi orang lain, dan membuat mereka untuk bertindak.
============================================================================================
Terjemahan wawancara ini dilakukan seakurat mungkin oleh Martyr Papua. Sudah mendapat izin, bahkan telah diperiksa langsung oleh si pewawancara. 

Daftar Korban Longsor PTFI Versi Polisi Indonesia



Areal tambang PTFI. (WWW.PTFI.COM)
Selasa (14/5) lalu dilaporkan terjadi longsor di Areal Tambang PTFI. Peristiwa tersebut dilaporkan, beragam. Hingga Rabu (15/5) kemarin, salah satu media melaporkan peristiwa tersebut menelan 4 korban jiwa, 10 selamat dan setidaknya 25 pekerja masih terperangkap di Big Gossan.
Sehari kemudian, Kamis (16/5) salkah satu milis komunitas Papua menyebarkan laporan data-data korban secara kasar. Katanya, data-data tersebut direkap oleh Polisi Indonesia. Berikut daftar nama-nama korban yang terjebak dalam terowongan yang dilansir polisi.

1. Muhtadi
2. Leonardus sparta
3. Aan nugraha
4. Soleman
5. Hasbullah
6. Herman susanto
7. Aris tikupasan
8. Ahmad rusli
9. Roy kailuhu
10. Amir tika
11. Febri tandungan
12. Petrus marengkerena
13. Jhoni tulak
14. Towali
15. Montahdim ahmad
16. Victoria sanger
17. Ferry edison pangaribuan
18. Lestari siahaan
19. Gito sikku
20. Wandi
21. Petrus duli
22. Retno bone
23. Alham
24. Rudi sitorus
25. Murdani tamanthi
26. Joni v. Gadje
27. Makmur
28. Florentinus kakupu
29. Kenny wanggai
30. Daud gobay
31. Selvianus edoway
32. Yatinus tabuni
33. Matheus marandok
34. Frelthon wanggai
35. Daniel eramuri
36. Yusak deda
37. Hengki hendambo
38. Ronny dolame
39. Andarias msen
40. Lewi mofu
41. Arinus maga

Tidak menutup kemungkinan korban bertambah karena belum dikalkulasikan korban hilang secara menyeluruh. Sementara Pihak freeport hanya mempersoalkan proses penambangan, bukan soal kecelakaan karyawaan. Sementara pengakuan rekan karyawan PTFI mengakui, kecelakaan itu terjadi bukan pada saat pelatihan,s eperti yang dilangsir media-media asal  Indonesia di  Papua dan nasional. “Longsor itu terjadi saat kami kerja. Pagi kami keluar, ganti dengan shif berikutnya. Setelah mereka masuk, tidak lama kemudian terjadi longsor dalam terowongan. Jadi bukan saat pelatihan,” aku salah satu karyawan underground, Kamis (16/5).
Para kapitalis hanya mementingkan dan mengutamakan kepentingan ekonominya daripada korban warga Negara yang mati akibat meningkankan produksi Perusahaan. Jika PT. Freeport mengabaikan hak hidup buruh, apakah PT. Freeport pantas ditutup?
Hal ini penting dilihat secara seksama dari kacamata kemanusiaan. Sementara aturan Nosa internasional dan ISO 2000, menegaskan, jika 5 lebih orang korban, maka perusahaan tersebut  ditutup. Perusahaan minyak di cili perusahaan ditutup karna mengorbankan warga. Pemilik minyak kemudian  diadili. (*/berbagai sumber)

Rabu, 15 Mei 2013

Arton Kogoya, Another killing by TNI and Police





On Saturday 9/05/2013 at 10 pm West Papua time a civilian name Arton Kogoya, 28 years old was shoot death at Yosudarso Street section UwemeWamenariverWamena District Central Highlands of West Papua by members of TNI from WimAnessili A 756 unites.
Due to this we are appealing to you all West Papua friends and UN to act quickly to save future of Papuan.
Prepared by Department of Communication and public press

Sikap Pemerintah Australia Tentang Situasi Papua

Warga Australia pendukung Papua Merdeka dalam aksi tutup mulut. (www.suarabaptispapua.com)
Tertanggal 29 April 2013 lalu, Pemeirntah Australia Bagian atau Departemen Perdagangan dan Luar Negeri Australia, menyatakan sikap kerasnya kepada pemerintah Indonesia di Jakarta terkait kekerasan dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang dilakukan Indonesia terhadap rakyat Papua Barat.
Pernyataan sikap itu diungkapkan kepada Tuan Amatus Douw, Koordinator atau presiden Forum Papua Barat dengan alamat 11/138 FryarRoad Eagleby QLD 4207 Australia pada tanggal 29 April 2013. Menindaklanjuti surat Amatus Douw tanggal 21 Februari 2013 sebelumnya, pihak Australia melalui Perdana Mentri Gillard membalas dengan keprihatinan yang mendalam tentang situasi Papua. di Propinsi-propinsi Papua di Indonesia. Saya telah diminta menjawab atas nama.
Menurut surat tersebut disebutkan, kejadian kekerasan di propinsi-provinsi Papua Indonesia merupakan perhatian pemerintah Australia.
Mengikuti penembakan tanggal 21 Februari duta besar Australia untuk Indonesia, Greg Moriarty, mengeluarkan sebuah pernyataan untuk menyampaikan perhatian mendalam tentang kekerasan dan mencatat bahwa kejadian-kejadian hanya menciptakan lingkaran kekerasan di propinsi-propinsi Papua. “Ini adalah gangguan terhadap masyarakat Papua dan Papua Barat, yang layak mendapatkan sebuah jaminan dan kemakmuran masa depan di dalam bangsa Indonesia,” tulisnya dalam isi surat tersebut.
Pada bagian lain surat tersebut mengulas lagi soal instruksi Presiden RI, Yudoyono alias SBY tentang kekuatan militer Indonesia menahan diri dari tindakan operasi keamanan yang berlebihan di Papua mengenai adanya penembakan-penembakan, dan jaminannya bahwa suatu tindakan berlebihan lainnya tidak dapat disangsikan. Tentang pentingnya meningkatkan pembangunan ekonomi dan sosial di Papua oleh SBY sebagai kunci untuk menjawab keluhan-keluhan orang Papua, tentunya Australia masih berpikir dua hati. Sngkat kata bakalan tak menyetujui rencana pemerintah Indonesia untuk membangun Papua, tapi sebaliknya orang Papua berdiri sendiri, merdeka dan berdaulat tanpa bergantung kepada negara lain.
Demi mencapai tujuan-tujuan tersebut, Pemerintah Australia hingga kini secara bertahap berusaha menaikan kasus hak asasi manusia (HAM) di propinsi Papua dengan Indonesia, termasuk pada tingkatan tertinggi oleh Perdana Mentri Gilard dan Mentri Luar Negeri Carr. Lain trik adalah meningkatkan pantauan Australia kepada Papua adalah, pejabat kantor kedutaan Australia di Jakarta secara dekat memantau situasi di kedua propinsi Papua dan melakukan kunjungan secara tetap untuk menilai melihat kondisi lansung. “Pesan konsisten Australia kepada Pemerintah Indonesia atas situasi hak asasi manusia adalah jelas – bahwa Indonesia hendaknya menghargai hak asasi dari semua warga negaranya. Pemerintah Australia mengakui bahwa di bawah Pemerintahan Presiden Yudoyono rekor hak asasi manusia (HAM) telah diperbaiki, tetapi di sana masih terjadi masalah-masalah yang perlu dialamatkan- hal ini juga di dukung oleh Pemerintah Indonesia,” tegasnya dalam poin lain.
Sebagai cover pantauannya, Australia mendukung komitmen publik berulang-ulang oleh Presiden SBY tentang pelanggaran  HAM yang dilakukan kekuatan militer (TNI/POLRI) di Papua diinvestigasi dan dihukum.
Agak irtoni bagi orang Papua adalah, posisi pemerintah Indonesia di Papua masih didukung oleh Australia sebagai jalan terbaik menurut pemerintah Australia. Katanya, keamanan dan kemakmuran masa depan bagi orang Papua adalah melalui perbaikan pembangunan dan pemerintahan di dalam Negara Indonesia melalui implementasi penuh Otonomi Khusus. Sebab hingga kini pemerintah Australia masih menilai sumber-sumber tekanan di propinsi-propinsi Papua berlangsung lama, kompleks dan tantangan serta berakar dalam marginalisasi sosial dan ekonomi. Tak heran juga bila dalam program bantuan Australia pada propinsi-propinsi di Papua adalah bernilai 16.9 miliar dolar Australia pada tahun 2011 sampai 2012, bahkan secara aktif membantu meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal melalui pendidikan, pemerintahan dan kesehatan yang baik.
Bersamaan dengan kerja sama ini, Australia terus menyediakan Indonesia rekomendasi-rekomendasi untuk membantu menyokong rekor HAM, termasuk melalui Universal Periodik Review PBB untuk Indonesia pada bulan Mei 2012.
Di dalam review tersebut, Australia telah merekomendasikan kepada Indonesia bahwa Indonesia meratifikasi undang-undang Roma pada Mahkama Kriminal Internasional; jaminan cepat, keseluruhan dan efektif investigasi kedalam laporan-laporan terpercaya terhadap kekerasan hak asasi manusia yang dilakukan oleh anggota keamanan militer Indonesia; dan menguji pilihan-pilihan guna mendirikan sebuah investigasi review independen dengan kemampuan itu untuk merekomendasikan prosekusi-prosekusi.
Pemerintah Australia juga terus berbicara kepada Indonesia tentang pentingnya akses ke Propinsi-propinsi tersebut dengan pemantau yang terpercaya, termasuk organisasi-organisasi non-pemerintah dan para jurnalis. Demikian surat yang ditandatangani Richard Rodgers, selaku Sekretaris Assisten Cabang Indonesia dan Timor-Lest. (Aipits)