JUBI --- Kepala Lembaga Pemasyaraatan Klas II A Abepura, Liberti
Sitinjak, bersama 14 orang bawahannya menganiaya seorang narapidana
atas nama Dominggus Pulalo, dimana mengakibatkan korban mengalami luka
robek ditelinga kiri, seluruh tubuhnya bengkak akibat ditendang.
Menurut pengakuan Pulalo, dirinya dianiaya usai kericuhan yang
terjadi dalam LP, Jumat (3/12) sore. Saat itu, kata dia, dirinya
dikunci dalam ruang tahanan oleh kalapas bersama 14 orang bawahannya.
Setelah penguncian dilakukan, kalapas dan 16 sipir itu bergantian
melakukan pemukulan dan tendangan.
“Waktu itu saya dikunci dalam
ruang tahanan jadi tidak bisa buat apa-apa. Saya dipukul dan ditendang
secara bertubi-tubi dari mereka,” katanya melalui laporan tertulis yang
diterima JUBI, di Jayapura, Selasa (14/12).
Dalam laporan itu,
akibat penganiaayan tersebut, Dominggus mengalami luka robek ditelinga
kiri, kepalanya bengkak, rusuknya hingga kini sakit karena tendangan
dan injakan bertubi-tubi saat dianiaya. Hingga kini korban masih merasa
pusing dan sakit disekujur tubuhnya. “Saya masih rasa sakit akibat
tindakan tersebut,” ungkapnya.
Dominggus Pulalo juga salah satu
diantara empat orang tahanan dan narapidana yang dipindahkan dari LP
Abepura ke rutan Polda Papua pasca kericuhan di LP Abepura, Jumat sore.
Hingga kini Dominggus bersama empat orang rekannya masih ditahan di
Polda Papua. Pulalo ditahan akibat kasus penganiayaan.
Kepala
Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Abepura, Liberti Sitinjak membantah
penganiayaan tersebut. “Tindakan itu tidak benar. Kami tidak lakukan
hal itu,” ujar Liberti saat dikonfirmasi JUBI. Liberti tidak banyak
berkomentar soal penganiayaan itu ketika JUBI berusaha meminta
penjelasan.
Berdasarkan pengakuan korban, forum demokrasi rakyat
Papua bersatu dan komite nasional Papua barat meminta Menteri Hukum dan
HAM dan Dirjen Lapas di Jakarta segera menindak tegas perbuatan kalapas
Abepura dan bawahanya atas kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan
terhadap para narapidana di LP Abepura, diantaranya Dominggus Pulalo.
Fordem
dan KNPB menilai, sikap semacam itu tidak menunjukkan pembinaan yang
benar dan baik terhadap napi dan tahanan. Sebaliknya, menimbulkan
ketidaknyamanan dan rasa tidak aman terhadap warga binaan. (Musa Abubar)