JUBI --- Jika Pemerintah Indonesia beritikad baik dalam penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) di Papua, seharusnya
aparat Militer Indonesia bekerja tidak setengah-setengah menuntaskan
kasus HAM.
Demikian disampaikan Ketua Sekretariat Keadilan
Perdamaian (SKP) Keuskupan Timika, Saul Wanimbo di kediamannya Timika,
sabtu (11/12). ”Kelima pelaku yang terbukti serta diadili dan disanksi
administrasi, seharusnya diseret ke pengadilan HAM selayakanya pelaku
pelanggar HAM berat,” paparnya, sabtu.
Situasi pelanggaran serta
tindaklanjut menuntaskan HAM di Papua, kata Wanimbo telah meninggalkan
jejak-jejak buruk bagi kredibilitas aparat TNI/POLRI di Papua. Sehingga
Ia menilai proses peradilan terhadap pelaku bisa dilakukan oleh siapa
saja, termasuk warga sipil. ”Kepercayaan terhadap aparat TNI maupun
Polri sudah hampir tidak ada. Komunitas sipil papua bersama komnas HAM
dan Komda HAM Papua ambil langkah sesegera mungkin,” ucapnya.
Terkait
dengan kasus-kasus HAM di Papua, SKP Timika mengemukan sejumlah pokok
permasalahan sehingga kasus-kasus HAM di papua. Katanya Polisi dan
tentara tidak pernah memuaskan pihak korban maupun warga sipil. Bahkan
terus melakukan pelanggaran HAM di Papua dari tahun ke tahun.
SKP
Timika mengemukan sejumlah alasan lemahnya penegakkan HAM di Papua.
Pertama: Selama ini pihak Militer Indonesia melihat kasus pelanggaran
HAM di Papua sebagai pelanggaran biasa. Ia mencontohkan tindaklanjut
pelanggaran HAM yang diselesaikan secara intern dalam institusi aparat
TNI maupun Polri. Kedua: Kasus Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua,
seolah-olah dipandang oleh aparat TNI/POLRI sebagai pelanggaranb aturan
militer. ”Padahal ini kasus-kasus pelanggaran HAM
berat di tanah papua,” jelasnya.
Ketiga:
Belum ada desakan dari komunitas-komunitas sipil rakyat papua,untuk
memproses pelaku ke tingkat peradilan HAM. ”jadi para pelaku di
Tingginambut maupun di mana saja, harus diadili di pengadilan HAM
selain ada sanksi organisasi atau intitusi asal,” paparnya.
Kata
rohaniwan Katolik Keuskupan Timika itu, langkah demikian penting
dilakukan untuk menertibkan anggota militer yang bertindak semena-mena
di tingkat lapangan. ”kalau atasan aparat militer tegas menindak
anakbuahnya, maka kewaspadaan untuk tidak berbuat pelanggaran (HAM)
pasti akan timbul. Tapi sayangnya para pelaku dibiarkan begitu saja
dengan cara memberikan sanksi intern. Ini tidak sesuai dengan aturan
kemanusiaan,” ujarnya. Setiap personil militer harus ditindak sesuai
jalur peradilan HAM.
SKP
Timika juga mempertanyakan membandingkan penyelesaikan kasus
Tingginambut tahun 2010 dengan kasus lainnya kejahatan dan pelanggaran
HAM lainnya di Papua. ”Peristiwa rekaman Video di Tingginambut ini
muncul dan dituntaskan dalam kurung waktu 2 minggu, sebelum kunjungan
Presiden Obama ke Indonesia,” imbuhnya.
Bila dibandingkan dengan
kasus HAM lain di Papua, masih banyak kasus HAM yang belum dituntaskan
sampai sekarang. Seperti kasus Wasior tahun 2004, Opinus Tabuni Tahun
2007 dan lainnya. ”Jadi seolah-olah sebelum kunjungan presiden Obama
(Presiden AS) ke Indonesia, aparat Militer ini terkesan bekerja
mencapai peradilan militer untuk memperbaiki citra militer Indonesia di
mata Amerika Serikat,” nilainya.
Ia menerangkan tujuan peradilan
militer di Indonesia bukan bertujuan mengadili pelaku dan berkeinginan
menegakkan HAM di Papua. Senyata-nyata, SKP berpendapat, TNI/POLRI di
Papua telah bekerja memihak pihak tertentu. Ketimbang menegakkan HAM
secara jujur dan adil secara independent.
Katanya realita
tersebut berbeda dengan misi HAM yang kini diemban oleh negara
berlambang Pancasila. ”padahal sesuai dasar hukum negara Republik
Indonesia mestinya menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia,
termasuk menciptakan berkehidupan berbangsa dan bernegara yang bebas,”
tuturnya. (Willem Bobi)