Senin, 12 November 2012

Freeport Abaikan Harkat dan Martabat Kemanusiaan Ex 24 Karyawannya

Taling Freeport yang merusak lingkungan di sekitar Freeport (Foto: Ist)
PAPUAN,  Editorial — Peristiwa Timika Berdarah tahun 1977 masih di ingat oleh Dorus Wakumm dari Komunitas Masyarakat Adat Papua Anti Korupsi (KAMPAK) Papua. Menurutnya, ini adalah sebuah peristiwa yang memakan korban jiwa yaitu masyarakat amungme dan komoro.
Militer dan Polisi Indonesia melakukan operasi militer di tahun yang sama ke wilayah Kabupaten Jayawijaya dan daerah-daerah lainnya di wilayah pegunungan tengah. Sejak saat itu, Kellyk Kwalik selaku Panglima Kodap III TPN/OPM melakukan perlawanan terbuka kepada Militer dan Polisi Indonesia termasuk PT. Freeport Mc.Moran.
Panglima TPN/OPM Kodap III Jenderal Kellyk Kwalik melakukan perlawanan bersama masyarakat pemilik hak ulayat terhadap keberadaan Militer dan Polisi Indonesia yang didukung oleh PT.Freeport Mc. Moran saat itu.
Jenderal Kellyk Kwalyk dan Masyarakat melakukan perlawanan dengan memotong dan meledakan Pipa aliran tambang yang mengalir dari Gresbert Tembagapura ke pelabuhan Port Sait.
Dalam perlawanan ini Militer dan Polisi Indonesia membunuh banyak warga masyarakat, membakar rumah, merusak barang milik warga , menembak binatang piaraan warga, yang membuat warga ketakutan dan lari berlindung dihutan-hutan selama hampir lima bulan lamanya.
Akibat dari operasi Militer dan Polisi Indonesia saat itu, memporak porandakan kehidupan masyarakat suku amungme – Kamoro yang melakukan perlawanan terhadap keberadaan PT. Freeport Mc.Moran.  telah mengakibatkan banyak korban jiwa masyarakat Amungme-Kamoro dan warga sekitarnya.
Hampir kurang lebih 900 jiwa yang meninggal akibat adanya operasi tersebut yang diumumkan oleh pemerintah Indonesia, tetapi lain halnya dengan laporan yang dilansir oleh Uskup Muninghof pada tahun 1995 yang dilaporkan kepada KOMNASHAM-RI di Jakarta, bahwa korban jiwa lebih dari 900 jiwa warga masyarakat yang telah menjadi korban akibat dari adanya operasi militer tersebut.
Selain itu, peristiwa 1977 tidak hanya menimpah warga masyarakat, sebaliknya ada sejumlah karyawan PT.Freeport Mc.Moran yang dituduh terlibat dalam sabotase pipa tambang oleh kelompok Jenderal TPN/OPM Kellyk Kwalik.
Tuduhan itu sangat tidak mendasar dan tidak bisa dibuktikan apakah ke 24 ex karyawan itu terlibat atau tidak, sebab sejak mereka diculik dan disekap didalam kontainer di Gesrberg Tembagapura selama 3-6 bulan, ke 24 ex karyawan PT.Freeport Mc.Moran selama itu mengalami tindakan kekerasan seperti; penangkapan, penculikan, penganiayaan, penyiksaan, dan penghinaan serta penahanan tanpa ada bukti yang jelas dan kuat diduga mereka ex karyawan terlibat dalam sabotase pipa tersebut.
Selama ditahan dan mengalami tindakan kekerasan aparat Militer, Polisi dan Laksusda Irian Jaya Barat, para ex karyawan ini tidak mendapatkan keadilan dan bantuan hukum dan tidak pernah diajukan pengadilan yangmana Pengadilan dapat memutuskan mereka bersalah bahwa ke 24 ex karyawan PT.Freeport Mc.Moran terlibat dalam sabotase Pipa tambang yang dituduhkan kepada mereka.
“Tuduhan aparatus negara dan manajemen PT.Freeport Mc.Moran tidak bisa dibuktikan di pengadilan, apakah benar mereka terlibat atau tidak, sebab hingga saat ini tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa ke 24 ex karyawan PT.Freeport Mc.Moran bersalah,” kata Dorus.
Terjadinya putusan hubungan kerja antara PT.Freeport Mc.Moran dengan 24 ex karyawan, hanya didasari oleh Surat Laksusda Irja Komando Operasi Portsite No.R/20/KOOPS/XI/1977 tertanggal 17 November 1977 dengan perihal terlibatnya saudara didalam separatis GPL dengan maksud menghancurkan proyek Freeport Indonesia,Inc. Di Tembagapura.
Atas dasar surat laksusda yang hanya sepihak saja tanpa ada putusan pengadilan bahwa (mereka) ke 24 ex karyawan PT.Freeport Mc.Moran itu terlibat atau tidak, bersalah atau tidak. Hanya dengan dasar ini lalu kemudian Manajemen PT.Freeport Mc.Moran melalui surat pemutusan hubungan kerja yang ditandatangani oleh Superintendent Employee Relation atas nama R.O. Nelson mengeluarkan surat PHK dan menunggu persetujuan P4P, maka Manajemen PT.Freeport Mc.Moran baru bisa membayar hak-hak ke 24 ex karyawan tersebut.
Patut diduga bahwa jika ke 24 ex karyawan ini tidak dipecat dengan cara kriminalisasi dan diskriminasi seperti ini, kemungkinan banyak hal yang diketahui oleh anak-anak putra asli papua ini akan menjadi ancaman dikemudian hari, apabila Manajemen PT.Freeport Mc.Moran melakukan kesalahan kepada mereka.
“Apa yang dilakukan oleh PTFI ini, sudah mengabaikan nilai harkat dan martabat kemanusiaan terhadap 24 Ex-karyawannya dan orang Papua asli,” tutup Dorus.
Sesudah kejadian tersebut, salah satu anak asli Timika yang adalah pemilik lokasi tambang, Titus Natkime, pernah melakukan gugatan terhadap PT Freeport di pengadilan negeri Jakarta Selatan.  Saat itu ia minta Freeport membayar padanya 300triliun untuk ganti rugi seluruh kerusakan dan lain-lain.
Titus mengaku, sudah bekerja belasan tahun lamanya, namun tidak pernah ada perhatian yang serius dari Freeport pada dirinya yang juga adalah anak dari Tuarek Natkime, pemilik tanah Amungsa yang telah meninggal.
Perjuangannya untuk terus meminta hak-hak adatnya kandas. Pengadilan negeri Jakarta Selatan mengatakan perkara tersebut tak bisa dilanjutkan. Kandas ditengah jalan, alasannya tidak memenuhi azas persidangan.
Keberadaan PT Freeport Indonesia memang tak pernah perhatikan harkat dan martabat orang asli Papua. Sama Titus Natkime yang adalah pemilik tanah tambang PT Freeport saja diperlakukan demikian, apalagi dengan yang lainnya.
Freeport, perusahaan multi-nasional yang menjadikan Papua sebagai panggung meraup banyak keuntungan, namun meninggalkan luka bekas (sakit) ditengah-tengah masyarakat adat tanah Papua.
 
OKTOVIANUS POGAU/TOMMY APRIANDO