Menurut
Direktur Lembaga Analisa Kebijakan Daerah (LAKEDA), Lamadi de Lamato,
kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jayapura
diharapkan bisa menyelesaikan berbagai persoalan yang menjadi tanda
Tanya dalam masyarakat Papua selama ini.
“
Sekarang masalah Papua sudah mulai hangat ditingkat Internasional,
mulai dari masalah pelanggaran HAM, Kasus video kekerasan, dari ketika
mahasiswa sampaikan aspirasi pada Dubes Amerikan tentang permintaan
referendum beberapa waktu lalu,” kata Lamadi kemarin di Jayapura.
Lamadi Lamato lebih
jauh mengatakan, momen kedatangan Presiden SBY di Jayapura sangat tepat
terutama dalama member pencerahan kepada masyarakat yang selama ini
bingung dengan berbagai persoalan yang terkesan tidak ada penyelesaian
serius.
“ Bahkan akibat dari persoalan Papua yang terkesan tidak ada penyelesaian terhadap masalah-masalah yang terjadi Ketua
Majelis Rakyat Papua (MRP), Agus Alua beberapa waktu lalu dalam HUT MRP
ke-5 mengatakan bahwa pelaksaan Otonomi Papua gagal sehingga pihaknya
akan meminta Undang-Undang Federal bagi Papua bukan lagi Undang-Undang
Otonomi khusus. Inikan sudah membuat masyarakat cukup bingung,” kata
Lamadi.
Untuk
itu dalam kunjungan Presiden di Papua ini, lanjut Lamadi SBY harus bisa
memanggil semua unsure pemerintahan di Papua mulai dari Gubernur,
Legislatif (DPRP/DPRD) dan MRP untuk duduk bersama dan saling bergandengan tangan untuk membangun Papua.
“
Selama ini kita tahu kalau Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan
MRP sepertinya jalan sendiri-sendiri dalam kebijakannya. Akibatnya
rakyat yang jadi korban. Bingung harus ikut yang mana,” terang Lamadi.
Bahkan
menurutnya, janji pemerintah untuk mengevaluasi UU Otsus Papua sesuai
Ramadhan lalu, juga sampai saat ini tidak terbukti , padahal semua
pihak, terutama rakyat kecil menunggunya. “ Harus diingat , dikalangan rakyat kecil dalam setiap aksi
demonstrasinya selalu menganggap Otsus gagal. Hanya elit politik dan
pejabat saja yang menjadi senang dengan uang Otsus yang triliunan
rupiah,” paparnya.
Sementara
itu, Koordinator Badan Pekerja Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengatakan, sejauh ini masyarakat Papua
mengalami marjinalisasi dan diskriminasi.
Menurutnya,
masyarakat Papua dikorbankan dalam pola pembangunan yang gagal sejak
Orde Baru, menjadi subyek yang lemah secara politik dan edukasi serta
pemerintah pusat selalu menutup kemungkinan dialog.
Kasus
video kekerasan, yang dilakukan anggota TNI dan kegagalan memberikan
keadilan atas kasus tersebut, merupakan sebuah contoh kecil dari modus
pengabaian hak-hak setiap anggota masyarakat di Papua.
''Pemberian
otonomi khusus sejak 2001 terbukti gagal menghalau atau meminimalisir
problem-problem. Yang terjadi kemudian adalah meningkatkan angka
korupsi oleh aparat pemerintah lokal. Ini adalah bukti bahwa
peningkatan biaya APBD untuk Papua tanpa memperbaiki persoalan lain
secara komprehensif hanya akan mengubah wajah ketidakbecusan pemerintah
mengatasi persoalan Papua,'' jelas Haris dalam jumpa pers di kantornya,
Jalan Borobudur 14 Jakarta Pusat (Minggu, 21/11).
Ia
menambahkan, sudah saatnya Presiden SBY menunjukkan
pertanggungjawabannya atas kondisi Papua, di mana hak dan kenyamanannya
hidup sebagai warga negara semakin tidak terjamin. ''Kami menyayangkan
jika kunjungan Presiden hanya untuk koordinasi kerja dan sekedar
kunjungan simbolik, apalagi jika justru meningkatkan sekuritisasi Papua
hingga berlipat-lipat,'' tegasnya.
Presiden
dan rombongan yang tiba di Jayapura kemarin dan hari ini melakukan
serangkaian kegiatan diantaranya membuka kegaiatan pertemuan Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) se- Nusantara di Universitas Cenderawasih.
Sedangkan acara kemarin malam Presiden SBY telah memberikan pengarahan dalam pertemuan Penguatan Kapasitas Keuangan
Daerah yang berlangsung di Sasana Krida Kantor Gubernur Papua. Dalam
acara itu dilakukan penanda tanganan Akta Integritas bersama pihak
DPRD, Bupati/Walikota maupun pimpinan daerah antara pemerintah provinsi
Papua dan Provinsi Papua Barat. [ant/hen/wilpret]