“Di Ujung Timur Nusantara, Tanah Papua tempatnya daerah berlumpur, rumah panggung jembatan kayu. Asmat daerah wisata, budayanya lukis dalam jiwa, ukir nyanyi, tari, pesta budaya, Asmat ooo…Asmat….dormomoo….”
JUBI --- Demikian sebuah lirikan lagu ciptaan Jimmy Sarkol yang dirilis oleh Flaminggo Group bersama group musik Abouwhim di Surabaya awal 2009. “Sungguh unik pesonamu, terkenal hingga manca negara. Asmat jadi situs warisan dunia. Museum budaya asmat juga ada di Eropa, (sebagai) saksi sejarah, asmat Dormomoo…..” demikian petikan syair lagu selanjutnya. Pesan lagu berjudul ‘Asmat Situs Warisan Dunia’ tersebut mengingatkan pembaca pada pelestarian Budaya Takbenda yang dimiliki oleh Orang Asmat. Kenangan lagu tersebut menyelipkan keberadaan budaya Asmat di antara budaya bangsa lain di dunia .
Pengakuan dunia atas penetapan status atas warisan dunia, sebelumnya dilatarbelakangi oleh upaya perlindungan dunia melalui World Heritage UNESCO PBB terhadap lokasi-lokasi yang berisi harta benda dari jaman mesir kuno, seperti kuil Abu Simbel dan Kuil Philae. Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Asmat, Donatus Tamot mengatakan, pelestarian budaya Asmat kini sedang diperjuangkan di tingkat dunia. “Harus mendapat pengakuan pelestarian ditingkat UNESCO,” ungkap Tamot. Pertemuan dan kesepakatan melalui World Heritage Convention (WHC) demi melestarikan alam dan situs sejarah dunia untuk kepentingan masa digelar pertama tahun 1965 di Amerika Serikat. Pertemuan tersebut berhasil membentuk International Union for Conservation of Nature (IUCN) yang ditindaklanjuti dalam pertemuan PBB tentang Lingkungan di Swedia tahun 1972. Sejak saat itulah perhatian masyarakat dunia-internasional terhadap warisan dunia benar-benar diwujudkan dalam bentuk pengesahan Konvensi Perlindungan Warisan Dunia (Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage - CCPWCNH) oleh negara-negara UNESCO di Paris.
Melihat perkembangan pelestarian situs-situs warisan dunia, seni ukiran, anyaman dan pentas budaya bagi orang Asmat belum terlambat. Karena, 10 tahun usai membentuk UCN, Uskup Agats, Mgr. Alfhonsius Sowada, OSC memelopori pesta budaya Asmat sejak tahun 1980/1981 silam. Sementara Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan konvensi pelestarian warisan dunia benda melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 26 Tahun 1989 di Jakarta. Dari hasil keputusan di tingkat dunia tersebut, hingga kini Konvensi WHC UNESCO PBB telah berhasil mengesahkan 890 situs warisan dunia yang terdiri dari 689 situs warisan budaya dunia, 176 situs warisan alam dunia, dan 25 situs warisan alam dan budaya dunia. Sedangkan Negara Republik Indonesia telah menetapkan 7 situs warisan Dunia, yaitu Warisan Budaya Dunia yang terdiri dari Borobudur Temple Compounds (ditetapkan tahun 1991 dan terdaftar di UNESCO PBB dengan nomor 238/1991 – reg. 238/1991), Prambanan Temple Compounds (Reg. 239/1991), Sanggiran Early Man Site (Reg. 436/1996), dan warisan alam dunia yang terdiri dari Komodo National Park (N/608-1991), Ujung Kulon National Park (N/609-1991), Lorentz National Park (N/955-1999), dan Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (N/1167-2004). Sedangkan warisan budaya tak benda masih belum jelas, termasuk situs warisan tak benda bagi Orang Asmat, yaitu budaya seni (pentas, seni ukir dan anyaman alami).
Mengenai warisan budaya, bersamaan dengan Konvensi Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia pada tahun 1972 silam, pernah muncul pandangan oleh beberapa negara tentang perlunya upaya perlindungan terhadap warisan tak benda. Warisan tak benda tersebut, UNESCO mulai memproklamirkan pada tahun 2001 atau setelah ada 19 usulan warisan budaya dunia takbenda. Tahun 2005 terhitung 90 karya warisan budaya dunia takbenda, yang disahkan oleh UNESCO - PBB. Sebelumnya tahun 2003, UNESCO - PBB memberlakukan konvensi tentang Perlindungan Warisan Budaya Takbenda yang diratifikasi oleh 114 negara. Dalam Konvensi tersebut, dijelaskan maksud budaya takbenda, terdiri dari budaya lisan, cerita termasuk bahasa, seni pentas (tari-tarian), adat-istiadat, kebiasaan masyarakat (adat), pengetahuan semesta dan alam, serta kerajinan tradisonal seperti ukiran dan anyaman khas daerah tertentu, termasuk Asmat. Namun Budaya Asmat hingga kini belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan berbagai alasan teknis dan pertimbangan tertentu.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan istilah Intangible Cultural Heritage (ICH) melalui Peraturan Presiden (PP) nomor 78 Tahun 2007, tentang Pengesahan Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Sementara Pemerintah Indonesia telah menetapkan Wayang sebagai warisan budaya dunia takbenda di Indonesia (2003) dan Keris (2005). Sedangkan Batik Indonesia – Jawa ditetapkan (30 September 2009) dalam daftar representatif budaya takbenda warisan manusia (Representatif List of Intangble Cultural Heritage) bersama dengan Wayang, Keris (4 November 2008) dan Education and Training In Indonesian Batik Intangble Culture Heritage (1 Oktober 2009). Lalu ukiran dan tarian khas Asmat? Di sinilah harapan bagi Orang Asmat, agar budaya khas daerah Asmat juga harus diratifikasi sebagai sebuah situs warisan dunia takbenda.
“Kalau tidak, manfaat dari budaya daerah ini akan sia-sia, jadi seharusnya pelestarian melalui pengakuan dunia internasional ini harus diperjuangkan sampai tuntas,” ujar Erick Sarkol Kurator Museum Budaya Asmat. Pengakuan status pelestarian tersebut akan memuat tanggung jawab bersama, ketimbang kerja keras kelompok atau golongan tertentu. Lantas keberadaan Museum Budaya Asmat, sementara ini nampak seperti tugas dan tanggungjawab Keuskupan Agats, Asmat Papua. “Bila dikelola dengan baik, sebenarnya hasil budaya Orang Asmat ini bisa mendatangkan keuntungan rupiah,” terang pekerja Museum Budaya Asmat selama 30-an tahun itu. Erick Sarkol menceritakan, hasil kunjungannya di beberapa negara Eropa, Amerika dan belahan dunia di Asia, menjadi pelajaran agar upaya pengakuan Budaya Asmat di mata Dunia Internasional itu segera dipercepat. “Sementara yang kami pertahankan (di museum Budaya Asmat di Agats) hanya berupa koleksi karya ukiran terbaik dari masyarakat, dan sebagai sumber pengetahun para tamu, kunjungan atau undangan lainnya dari luar asmat,” katanya. Bila pengakuan status budaya Asmat di mata dunia itu terealisasi, maka ribuan pengusaha ukiran dan anyaman khas Asmat akan menjamur melalui sentra-sentra seni ukir dan anyaman di Asmat. Tetapi secara umum, seperti yang dikatakan Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Asmat, bahwa dibalik segala kebanggaan dan potensi Budaya Asmat, masih banyak persoalan yang harus diselesaikan. Kendala yang sama juga dialami oleh, Marine Mega Diversity of Indonesia merupakan sumber kluster terbesar di Raja Empat (Sorong), Taka Botarate, Wakatobi dan lainnya. Bali sebagai warisan budaya dan alam dunia, juga mengalami penundaan penetapannya (pengakuan internasional), setelah dinilai kurang dokumen nominasi tertentu. “Belum lagi usulan situs budaya dari Tana Toraja, Nias dan lainnya di Indonesia, semuanya menghadapi persoalan rumit yang membutuhkan langkah terpadu dari seluruh pihak terkait,” terang Tamot belum lama ini.
Meskipun belum diakui dunia Internasional melalui Unesco, namun patut dipikirkan juga bahwa setelah ditetapkan tidak lantas dibiarkan dan dunia akan menjaganya (pelestariannya). Maka situs warisan dunia, baik benda maupun takbenda harus disadari, bahwa pengusulan pengakuan ke tingkat Dunia melalui WHC UNESCO- PBB adalah membangun komitmen internal di muka publik Internasional untuk menjaga situs warisan benda maupun takbenda yang dimiliki.
Peringatan ini mengingatkan bahwa kondisi di lapangan yang terjadi setelah pengakuan atau setelah diratifikasi oleh WHC UNESCO PBB di waktu mendatang. Salah satu bukti, menunjukkan tekanan begitu besar terhadap beberapa Taman Nasional yang terdaftar sebagai Situs Warisan Alam Dunia. Bahkan Kluster Tropical Rainforest Heritage of Sumatera (TRHS) terancam masuk kedalam Warisan Dunia berstatus ‘dalam bahaya’. Pembangunan jalan di dalam Taman Nasional, perambahan hutan dan lain-lain. (JUBI/Willem Bobi)