JUBI --- Tanggal 5 Desember 2010 genap 100 hari kematian Almahrum
Ardiansyah Matra’is, Wartawan Tabloid JUBI dan Merauke TV, yang
meninggal secara misterius di Kali Maro Merauke, tiga bulan lalu.
Dalam proses penyelidikan pengungkapan motif dibalik kamatian
Ardiansyah, rupanya tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.
Menurut
Lasarus Gon dari Divisi Advokasi AJI Jayapura, setidaknya, dalam
peyelidikan awal, menuai dualisme pernyataan dari polisi. Polres
Merauke menyatakan bahwa Almahrum Ardiansyah meninggal murni
kecalakaan dan tidak ada tanda-tanda kekerasan, sedangkan Mabes Polri
menyatakan bahwa sebelum Almahrum meninggal ada dugaan mengalami
kekerasan fisik.
Alibi Mabes Polri ini setidaknya mengacu pada
tanda-tanda bekas kekerasan pada beberapa organ tubuh korban, seperti
lidah menjulur, memar pada bagian kepala belakang, dan satu gigi
rontok. Peryataan Polri ini juga serupa dengan hasil investigasi AJI
Jayapura bersama AJI Indonesia yang menyimpulkan, bahwa sebelum
Almarhum meninggal , terlebih dahulu mengalami tindak kekerasan, lalu
dihanyutkan ke arus Sungai Maro.
"Dalam melakukan otopsi, tim
Forensik Polda Sulawesi Selatan ternyata mendukung peryataan Polres
Merauke, dan ‘merontokan’ temuan Mabes Polri. Akibat dualisme
pernyataan tersebut, tentu sangat membingungkan pihak keluarga,
termasuk para insan jurnalis dimana pun berada." sesal Lasarus Gon.
Menurutnya,
AJI Jayapura tetap menganggap kematian Ardiansyah ini masih menyisahkan
teka-teki. Selain tidak mampu menangkap pelaku, aparat penyidik juga
tidak melakukan olah TPK dan tidak melakukan visum terhadap barang
bukti yang ditemukan di jembatan kali Maro, Seperti Sandal dan Sepeda
motor yang digunakan korban.
Selain motif Kematian Adiansyah yang
masih misterius, fenomena Kekerasan terhadap wartawan pun masih
terjadi. Kebebasan wartawan sekarang masih dikekang. Teror dan ancaman
masih menghantui wartawan. Lidah akan disilet, kantor redaksi akan
dibakar, dituding sebagai provokator, dan sederetan kekerasan verbal
lainnya.
Kasus Kematian Ardiansyah dan kekerasan verbal lainnya
merupakan catatan kelam jurnalis di Papua. Wartawan saat ini dianggap
sebagai musuh, bukan lagi mitra masyarakat. Jika kekebasan jurnalis
dikekang, tentu saja melumpuhkan sendi demokrasi di Indonesia.
Mengenang
100 hari kematian Ardiansyah, AJI Jayapura menyatakan beberapa
tuntututan yakni mendesak Polda Papua dan Polres Merauke untuk tetap
melakukan penyelidikan hingga menemukan bukti baru terhadap Kasus
Kematian Ardiansyah Matrais, menyerukan agar menghentikan segala bentuk
kekerasan fisik mau pun kekerasan verbal terhadap jurnalis dan meminta
aparat kepolisian agar menjamin keselamatan wartawan pada setiap
peliputan yang dianggap berbahaya. (Musa Abubar)