Selasa, 10 Februari 2015

Suku Pribumi Tergusur Akibat Mega Proyek MIFEE

Mega proyek perkebunan di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua telah membuat kelangsungan hidup masyarakat adat terancam, setelah hutan yang menjadi tempat mereka mencari makan dikonversi  dengan cara tidak adil menjadi lahan perkebunan, demikian klaim para aktivis.

Salah satu potret kehidupan warga pribumi di Kabupaten Merauke Papua, dimana orangtua merasa gelisah dan tidak ada harapan untuk kehidupan warisan mereka bila tempat hidup berupa tanah, hutan sungai dan areal perkampungan, serta dusun wilayah masyarakat adat dipergunakan sebagai kawasan perusahaan yang mementingkan kaum kapitalis dan kaum penjajah ekonomi modern. (Ist)

Theo Erro, aktivis Papua yang bekerja di Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Merauke mengatakan, konversi lahan melalui proyek the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) membawa dampak serius bagi kehidupan Suku Marind Anim yang selama ini hidup berburu dan meramu.

Proyek MIFEE yang dimulai pada 2010 dengan luas lahan yang dialokasikan 2,5 juta hektar dari luas total Kabupaten Merauke sekitar 4 juta hektar merupakan bagian dari upaya pemerintah menjadikan Merauke sebagai pusat pangan.

Saat diluncurkan tahun 2010, katanya, Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, proyek ini ditargetkan bisa “memberi makan penduduk Indonesia dan dunia”.

Namun, kata Theo, kehadiran MIFEE justru menimbulkan ketidakadilan bagi Suku Marind Anim yang sebelumnya menjadikan hutan sebagai lahan untuk mencari makan.

“Akibat kehadiran MIFEE, hutan dibabat. Pohon sagu yang jadi sumber makanan sudah ditebang dan hewan untuk berburuh sudah hilang.  Warga sudah kesulitan mencari makan”, kata Theo.

Bahkan, kata dia, di Zanegi, salah satu kampung, wilayah yang hanya berjarak 200 meter dari pemukiman warga sudah dikonversi jadi lahan perkebunan.

Saat ini terdapat 19 perusahan yang mendapat izin. Mereka berada di sekitar kampung  Zanegi, Selil, Makaling, Domande, Okaba, Muting, Sota, Kumbe, Kurik dan Merauke dimana Suku Malind Anim berada.

Erro menegaskan, proses mendapat izin bagi perusahan-perusahan itu dilakukan dengan tidak fair.

“Meski masyarakat menolak menyerahkan lahan mereka, namun kemudian mendapat intimidasi. Ada keterlibatan aparat keamanan yang memaksa masyarakat untuk melepas lahan mereka”, katanya.

Ia menjelaskan, masyarakat yang menolak biasanya akan dijemput dari kampung oleh aparat dan dibawa ke hotel-hotel di kota Merauke untuk menandatangani surat perjanjian penyerahan lahan kepada perusahan.

“Masyarakat umumnya tidak tahu apa isi perjanjian dalam surat itu, karena mereka umumnya tidak bisa membaca. Yang mereka tahu, mereka diinformasikan bahwa lahan mereka akan dikontrak selama 35 tahun dan mendapat ganti rugi sekitar Rp 2.000 per hektar”, katanya.

Namun, kata Theo, siapa bisa menjamin, bahwa tanah mereka bisa dikembalikan setelah 35 tahun, karena mereka tidak tahu pasti isi perjanjian  itu.

Praktek demikian, kata dia, sudah berlangsung sejak awal masuknya MIFEE.

“Semua proses itu dijalankan dengan melibatkan pengusaha, pemerintah lokal dan aparat keamanan. Kami sulit membongkar praktek ini, karena mereka bekerja begitu rapi”, katanya.

“Kami menduga kuat ada praktek kotor korupsi dalam penerbitan izin-izin itu”, tambahnya.

April Perlindungan dari LSM pemerhati masyarakat adat PUSAKA mengatakan, kehadiran MIFEE selain merusak lingkungan, juga memicu kepunahan suku asli Papua yang sekarang tinggal 60 persen dari populasi.

Apalagi, menurut dia, setiap tahun jutaan pekerja perkebunan dikerahkan ke Merauke dengan skill yang lebih dibandingkan warga asli sehingga mereka menempati posisi tinggi dalam pekerjaan, sementara warga asli terpaksa menjadi buruh kasar.

Ia menegaskan, perlawanan gigih dari warga terus dilakukan, bahkan suku Malind Anim telah menyampaikan keluhan mereka kepada Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.

“Laporan kerusakan tanah adat, pemaksaan militer sudah disampaikan, termasuk proyek-proyek yang tanpa melalui kajian soal dampak terhadap lingkungan”, katanya.

Namun, menurut dia, meski berdasarkan informasi yang mereka dapat, Pelapor Khusus PBB ingin meneliti masalah ini, namun  pemerintah Indonesia belum memberi respon dan telah menolak kehadiran PBB.

“Hal yang sama terus berlabgsung. Tak ada niat pemerintah untuk mendialogkan masalah ini, termasuk dengan kami, demi menyelamatkan warga Papua”, katanya. (Honny)