Taling Freeport yang merusak lingkungan di sekitar Freeport (Foto: Ist) |
PAPUAN, Editorial — Peristiwa Timika Berdarah
tahun 1977 masih di ingat oleh Dorus Wakumm dari Komunitas Masyarakat
Adat Papua Anti Korupsi (KAMPAK) Papua. Menurutnya, ini adalah sebuah peristiwa yang memakan korban jiwa yaitu masyarakat amungme dan komoro.
Militer dan Polisi Indonesia melakukan operasi militer di tahun yang
sama ke wilayah Kabupaten Jayawijaya dan daerah-daerah lainnya di
wilayah pegunungan tengah. Sejak saat itu, Kellyk Kwalik selaku Panglima
Kodap III TPN/OPM melakukan perlawanan terbuka kepada Militer dan
Polisi Indonesia termasuk PT. Freeport Mc.Moran.
Panglima TPN/OPM Kodap III Jenderal Kellyk Kwalik melakukan
perlawanan bersama masyarakat pemilik hak ulayat terhadap keberadaan
Militer dan Polisi Indonesia yang didukung oleh PT.Freeport Mc. Moran
saat itu.
Jenderal Kellyk Kwalyk dan Masyarakat melakukan perlawanan dengan
memotong dan meledakan Pipa aliran tambang yang mengalir dari Gresbert
Tembagapura ke pelabuhan Port Sait.
Dalam perlawanan ini Militer dan Polisi Indonesia membunuh banyak
warga masyarakat, membakar rumah, merusak barang milik warga , menembak
binatang piaraan warga, yang membuat warga ketakutan dan lari berlindung
dihutan-hutan selama hampir lima bulan lamanya.
Akibat dari operasi Militer dan Polisi Indonesia saat itu, memporak
porandakan kehidupan masyarakat suku amungme – Kamoro yang melakukan
perlawanan terhadap keberadaan PT. Freeport Mc.Moran. telah
mengakibatkan banyak korban jiwa masyarakat Amungme-Kamoro dan warga
sekitarnya.
Hampir kurang lebih 900 jiwa yang meninggal akibat adanya operasi
tersebut yang diumumkan oleh pemerintah Indonesia, tetapi lain halnya
dengan laporan yang dilansir oleh Uskup Muninghof pada tahun 1995 yang
dilaporkan kepada KOMNASHAM-RI di Jakarta, bahwa korban jiwa lebih dari
900 jiwa warga masyarakat yang telah menjadi korban akibat dari adanya
operasi militer tersebut.
Selain itu, peristiwa 1977 tidak hanya menimpah warga masyarakat,
sebaliknya ada sejumlah karyawan PT.Freeport Mc.Moran yang dituduh
terlibat dalam sabotase pipa tambang oleh kelompok Jenderal TPN/OPM
Kellyk Kwalik.
Tuduhan itu sangat tidak mendasar dan tidak bisa dibuktikan apakah ke
24 ex karyawan itu terlibat atau tidak, sebab sejak mereka diculik dan
disekap didalam kontainer di Gesrberg Tembagapura selama 3-6 bulan, ke
24 ex karyawan PT.Freeport Mc.Moran selama itu mengalami tindakan
kekerasan seperti; penangkapan, penculikan, penganiayaan, penyiksaan,
dan penghinaan serta penahanan tanpa ada bukti yang jelas dan kuat
diduga mereka ex karyawan terlibat dalam sabotase pipa tersebut.
Selama ditahan dan mengalami tindakan kekerasan aparat Militer,
Polisi dan Laksusda Irian Jaya Barat, para ex karyawan ini tidak
mendapatkan keadilan dan bantuan hukum dan tidak pernah diajukan
pengadilan yangmana Pengadilan dapat memutuskan mereka bersalah bahwa ke
24 ex karyawan PT.Freeport Mc.Moran terlibat dalam sabotase Pipa
tambang yang dituduhkan kepada mereka.
“Tuduhan aparatus negara dan manajemen PT.Freeport Mc.Moran tidak
bisa dibuktikan di pengadilan, apakah benar mereka terlibat atau tidak,
sebab hingga saat ini tidak ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa
ke 24 ex karyawan PT.Freeport Mc.Moran bersalah,” kata Dorus.
Terjadinya putusan hubungan kerja antara PT.Freeport Mc.Moran dengan
24 ex karyawan, hanya didasari oleh Surat Laksusda Irja Komando Operasi
Portsite No.R/20/KOOPS/XI/1977 tertanggal 17 November 1977 dengan
perihal terlibatnya saudara didalam separatis GPL dengan maksud
menghancurkan proyek Freeport Indonesia,Inc. Di Tembagapura.
Atas dasar surat laksusda yang hanya sepihak saja tanpa ada putusan
pengadilan bahwa (mereka) ke 24 ex karyawan PT.Freeport Mc.Moran itu
terlibat atau tidak, bersalah atau tidak. Hanya dengan dasar ini lalu
kemudian Manajemen PT.Freeport Mc.Moran melalui surat pemutusan hubungan
kerja yang ditandatangani oleh Superintendent Employee Relation
atas nama R.O. Nelson mengeluarkan surat PHK dan menunggu persetujuan
P4P, maka Manajemen PT.Freeport Mc.Moran baru bisa membayar hak-hak ke
24 ex karyawan tersebut.
Patut diduga bahwa jika ke 24 ex karyawan ini tidak dipecat dengan
cara kriminalisasi dan diskriminasi seperti ini, kemungkinan banyak hal
yang diketahui oleh anak-anak putra asli papua ini akan menjadi ancaman
dikemudian hari, apabila Manajemen PT.Freeport Mc.Moran melakukan
kesalahan kepada mereka.
“Apa yang dilakukan oleh PTFI ini, sudah mengabaikan nilai harkat dan
martabat kemanusiaan terhadap 24 Ex-karyawannya dan orang Papua asli,”
tutup Dorus.
Sesudah kejadian tersebut, salah satu anak asli Timika yang adalah
pemilik lokasi tambang, Titus Natkime, pernah melakukan gugatan terhadap
PT Freeport di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Saat itu ia minta
Freeport membayar padanya 300triliun untuk ganti rugi seluruh kerusakan
dan lain-lain.
Titus mengaku, sudah bekerja belasan tahun lamanya, namun tidak
pernah ada perhatian yang serius dari Freeport pada dirinya yang juga
adalah anak dari Tuarek Natkime, pemilik tanah Amungsa yang telah
meninggal.
Perjuangannya untuk terus meminta hak-hak adatnya kandas. Pengadilan
negeri Jakarta Selatan mengatakan perkara tersebut tak bisa dilanjutkan.
Kandas ditengah jalan, alasannya tidak memenuhi azas persidangan.
Keberadaan PT Freeport Indonesia memang tak pernah perhatikan harkat
dan martabat orang asli Papua. Sama Titus Natkime yang adalah pemilik
tanah tambang PT Freeport saja diperlakukan demikian, apalagi dengan
yang lainnya.
Freeport, perusahaan multi-nasional yang menjadikan Papua sebagai
panggung meraup banyak keuntungan, namun meninggalkan luka bekas (sakit)
ditengah-tengah masyarakat adat tanah Papua.
OKTOVIANUS POGAU/TOMMY APRIANDO